Pemilu, Golput, Fatwa

TULISAN ini sekadar mengandaikan bahwa fatwa ulama benar-benar ‘nimbrung’ ke dalam urusan pemilu, pilkada, dan golput dari segala sisi dan kemung kinannya.

Bagi mereka yang serius mempertimbangkan halal-haram dalam menjalani kehidupan, jangankan soal golput, sesendok makanan sebelum masuk mulut dihitung dulu seluruh faktornya sampai sah disebut halal. Beli sebotol air, benda airnya itu sendiri mungkin tak ada masalah, tapi perusahaan apa produsernya, bagaimana asal usul keuangannya, posisinya dalam konstelasi keusahaan masyarakat luas ‘menyakiti’ pihak lain atau tidak.

Identifikasi dan analisis menuju kepastian halal mungkin bisa lebih luas, detail, dan ruwet daripada itu. Maka Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim memerlukan ‘label haram’ bukan ‘label halal’. Di negara-negara yang muslimnya minoritas memerlukan ‘label halal’ karena di belakangnya terdapat asumsi bahwa makanan dan minuman umumnya ‘belum tentu halal’. Tapi di negara mayoritas muslim asumsinya adalah makanan minuman ‘umumnya halal’ sehingga yang dibutuhkan adalah ‘label haram’.

Pekerjaan utama rakyat Indonesia sejak lima tahun terakhir ini adalah pergi ke kotak pemilihan, dari level lokal, regional, sampai nasional untuk menentukan sesuatu yang entah mereka pahami dan kuasai masalahnya atau tidak. Tahun 2009 adalah kulminasi dari ‘profesi’ massal itu. Maka benar-benar diperlukan kejelasan dari apa yang Ketua MPR Hidayat Nur Wahid tempo hari pernah menganjurkan. Yakni agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram bagi golput. Itu telah disahkan dalam Ijtimak Fatwa Ulama III MUI di Padang Panjang, Sumatra Barat, akhir pekan lalu. Rakyat Indonesia dan umat Islam pada umumnya kariernya tidak sukses dan penghidupannya miskin. Kalau bisa, jangan ditambahi dengan kepastian ‘masuk neraka’ hanya karena 2 menit masuk kotak pemilu atau tidur di rumah karena ogah ke arena pemilihan.

Takkan menjilat ludah Kalau fatwa itu tidak keluar, apa gerangan artinya? Kalau ada fatwa golput haram, berarti haram, meskipun itu sebatas pendapat Majelis Ulama Indonesia. Kalau tak keluar fatwa, apakah berarti golput halal, termasuk bagi MUI? Kita butuh ketegasan dan kepastian, kalau tidak tentang hukum (fikih agama) golput, ya tentang apa pendapat MUI, yang dalam struktur kehidupan berislam menempati posisi al-mufty, pedoman hukum bagi seluruh umat.

Kalau bagi Hidayat Nur Wahid, pasti golput itu haram, ada fatwa MUI atau tidak, disepakati atau tidak oleh siapa pun. Sekali haram tetap haram, beliau bukan intelektual picisan yang bisa menjilat ludahnya. Apakah berarti itu juga pendapat parpol beliau tidak bisa diklaim siapa pun, kecuali ditentukan secara organisasional oleh parpol yang bersangkutan.

Fatwa tak sama dengan agama Tetapi fatwa itu tidak sama dengan agama. Fatwa itu sekian langkah dari agama.

Untuk satu masalah bisa lahir jutaan fatwa sejumlah pemeluk agama Islam sepanjang mereka memenuhi syarat keilmuan dan metodologis untuk memproduksi fatwa.

Jangankan fatwa, syariat Islam, atau fikih (hukum) Islam pun tidak sama dan sebangun dengan Islam. Islam itu karya Allah, sedangkan syariat Islam adalaghasil penafsiran oleh para ulama. Pun fikih. Maka ada banyak mazhab dan boleh ada 200 mazhab lagi yang lahir tahun ini dan 300 lagi tahun depan, seiring dengan makin banyaknya cendekiawan cendekiawan ulul albab, ulul abshar, ulun nuha hasil persekolahan Islam.

Fatwa bahwa sesuatu itu haram tidak sama dengan ‘sesuatu itu pasti haram’. Ia hanya haram menurut salah satu pendapat. Anda boleh punya pendapat yang sama atau berbeda. Bahkan kepada para nabi pun Allah memperingatkan, “Kenapa kau haramkan yang dihalalkan oleh Allah?” Peringatan itu pasti berlaku seribu kali lebih urgen kepada kita yang bukan nabi.

Fatwa bukan firman Tuhan. Fatwa adalah hasil penghayatan manusia terhadap nilai baikburuk, benar-salah, indah-jorok. Adalah produk dinamika manusia dalam memahami, meneliti, menganalisis, dan mengambil keputusan tentang sesuatu hal di antara ranah-ranah kebaikan hidup yang begitu luasnya.

Menjadi dewasa Fatwa itu huruf Arabnya fa’, ta’, wawu. Kata kerja fataa atau fatiya menjelaskan situasi seseorang ‘menjadi dewasa’ sudah tidak kanak-kanak lagi. Secara khusus, ia mengaksentuasi pada nilai bahwa kedewasaan itu perolehan kemuliaan dan kehormatan. Anjuran untuk mengeluarkan fatwa itu mencerminkan tingkat atau kadar kedewasaan penganjurnya.

Halal-haram itu mutlak milik Allah. Ia yang memiliki hak asasi untuk mengharamkan atau menghalalkan sesuatu karena saham-Nya atas kehidupan semua makhluk hampir 100%. Haram makan babi, berzina, atau mencuri, itu langsung dari Allah, take it or leave it. Tapi kalau pemilu, golput, bikin negara, itu wilayah yang Allah mempersilakan manusia untuk berdiskusi.

Jadi, boleh ada fatwa golput haram, dengan hujah bahwa warga negara tidak baik kalau apatis terhadap urusan negaranya. Bisa juga lahir fatwa golput itu sunah atau bahkan wajib karena keputusan golput itu justru lahir dari kepedulian yang sangat serius dan mendalam terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

Saya sendiri menunggu setelah fatwa itu dikeluarkan, kemudian disetujui negara dan diundang-undangkan, terserah pada tingkat mana. Bisa keputusan menteri, keputusan presiden, atau dibuat khusus undang-undang haram golput. Maka akan muncul tuntutan agar dikeluarkan fatwa hukum pemilu. Wajib itu kalau sangat manfaat. Haram itu sangat mudlarat. Tengahnya mubah atau halal. Yang lumayan manfaat namanya sunah yang lumayan mudlarat disebut makruh.

Yang paling mengalami dan mengerti manfaat mudlarat-nya pemilu, dan adanya parpol, adalah rakyat langsung. Maka silakan bikin jajak penda pat ke rakyat, satu pertanyaan saja, adanya parpol dan pemilu sejauh yang Bapak-Ibu alami lebih banyak manfaatnya atau mudlarat-nya? LSI atau siapa pun silakan bikin simulasi. Insya Allah sudah relatif tahu kira-kira bagaimana hasilnya.

EAN.

Hujan Al Mukarram

Terkadang saya ingin mengajak teman-teman untuk sedikit gila, dengan tujuan supaya agak sedikit waras.

Misalnya, kalau lagi jalan-jalan mendadak hujan. Mbok tak usah berteduh. Ya terus saja berjalan. Biasa,berjalan biasa.

Hujan itu baik. Apalagi hujan musim sekarang ini: sekian lama kita menanti-nantinya seperti menunggu kedatangn seorang kekasih yang berbulan-bulan jadi TKW di Arab Saudi.

Hujan kita dambakan, bahkan pakai sembahyang istisqa' segala. Sekarang, kalau hujan datang, kita berhamburan lari ke trotoar toko.

Padahal kita ini makhluk waterproof. Tahan hujan, seperti plastik. Kehujanan bukan hanya tak apa-apa, malahan segar. Sejak kecil hobi kita berhujan-hujan. Sebenarnya yang kita lindungi dari hujan itu pakaian kita, atau make-up di wajah kita. Entah kenapa pakaian kik tidak bela-bela. Kita sampai membeli mantel segala.

Kalau hujan tiba-tiba menghambur, kitapun lari berhamburan seolah pasukan Israel datang.

Sedangkan tubuh kita ini senang kepada hujan. Di samping tak membuat kita mati, sakit lepra atau bisul, hujan itu rakhmat Tuhan, meskipun terkadang menyimpan bebeberapa rahasia. Tak bisa kita bayangkan kehidupan tanpa hujan.

Seperti juga tak bisa bayangkan kehidupan tanpa matahari. Kalau terjadi banjir, mungkin karena manusia tolol mengelola tatanan alam, mungkin karena konstruksi kota kita kacau, atau mungkin karena maksud-maksud tertentu dari Tuhan untuk menyindir manusia yang pintar berkhianat.

Jadi ayolah jalan-jalan dalam hujan.

O, takut buku-buku Anda jadi basah? KTP?
Surat-surat ini-itu? Itu bisa dibungkus plastik rapat-rapat, seperti pakaian nanti bisa dicuci.

Atau takut masuk angin? Kok bisa kehujanan saja lantas masuk angin? Salahnya badan tak dilatih. Badan dimanja seperti bayi. Beli pakaian terus menerus hanya untuk mengurangi daya tahan tubuh dari angin dan hujan. Padahal angin dan hujan itu sahabat darah daging kita. Sama-sama anggota alam.

Ayolah, jalan-jalan dalam hujan. Kalau pergi buka baju, kecuali wanita. Wanita musti menempuh 'metode' lain untuk memelihara kekuatan tubuhnya.

Tapi, astaga, saya lupa. Ada yang namanya kebudayaan!

Kebudayaan ialah memakai sandal, celana dan baju. Kebudayaan tinggi ialah memakai sepatu, jas dan dasi. Astaga, anehnya. Kalau keluar rumah tanpa alas kaki, itu tak berbudaya. Kalau diatas celana tak ada kaos, masuk supermarket, itu primitif. Kalau hanya pakai celana pendek saja, pergi ke perjamuan, itu saraf. Aneh sekali nilai-nilai kita ini!

Tapi percayalah, kalau di tengah hujan, kita berjalan terus saja dan biasa saja, masih dianggap belum terlalu gila.

Hujan al mukarram kekasihku! Kau kurindukan dan diperlukan untuuk beberapa kepentingan. Tapi. kami, manusia, sesungguhnya sudah tak lagi akrab denganmu secara pribadi.

(Emha Ainun Nadjib, "Secangkir Kopi Jon Pakir",cet vi, 1996, PmBNetDok)

Manusia Fiqh, Manusia Akhlaq, Manusia Taqwa

Kalau Anda sedang jalan, tiba-tiba menjumpai ada seorang anak tergeletak di pinggir jalan karena kelaparan, maka Anda tidak dipersalahkan oleh fiqh serta tidak ada pasal hukum formal negara manapun yang membuat Anda ditangkap polisi. Tapi menurut pandangan akhlaq Agama atau moralitas sosial, Anda sungguh salah. Apalagi menurut mata pandang taqwa: Anda mungkin dikategorikan bukan manusia.

Syarat rukun shalat adalah niat, terus takbiratul ihram dst…tidak ada syarat harus khusyuk, sehingga kalau tidak khusyuk maka shalat Anda tidak sah. Jadi fiqh dan hukum formal itu lapisan paling dasar dari moral dan yang paling elementer dari taqwa. Saya tidak mengatakan fiqh dan hukum formal itu rendah atau tidak penting, melainkan ada yang lebih tinggi, yakni moralitas dan taqwa. Kalau shalat tidak khusyuk, atau setidaknya kurang berusaha untuk khusyuk, berarti tidak sungguh-sungguh menjalankan moral atau akhlak kepada Tuhan. Taqwanya diragukan.

Kalau dalam perspektif zakat misalnya, ukuran fiqih sangat teknis. Misalnya 2,5 persen. Asal sudah bayar segitu, tak dosa. Tapi tak dosa tidak sama dengan sudah berakhlak. Tak berdosa tidak berarti sudah lulus moral. Peta sosial-ekonomi suatu lingkaran masyarakat memiliki ukuran-ukuran tertentu sehingga kelayakan zakat menurut akhlaq berbeda-beda. Mungkin baru pantas kalau kita kasih 10%, atau bahkan 50%. Sedangkan terminologi taqwa menganjurkan kepantasan dan logika bahwa yang disebut sudah bertaqwa adalah kalau sudah ikhlas menyerahkan atau menyampaikan kembali segala yang kita miliki kepada yang punya, melalui siapa saja yang Ia kehendaki. Segala sesuatu yang kita punya itu bukan hanya deposito, rumah dan harta benda, tapi juga seluruh diri kita ini. Kalau sudah pada taraf itu, maka kita mengalami Islam: pemasrahan total diri kita kepada Yang Memiliki, Yang Menciptakan dan kemudian yang selama ini meminjamkan kepada kita.

Jadi sebenarnya taqwa itu sangat sederhana dan kelihatan mudah: yakni mengembalikan barang yang kita pinjam kepada pemiliknya. Apa anehnya dan apa susahnya? Kita mungkin keberatan kalau memberikan barang yang kita miliki kepada pihak lain. Tapi ini kan sekedar menyampaikan barang pinjaman kepada yang punya, tidak ada rugi dan keberatan apa-apa.

Kebanyakan kita cenderung lebih suka menggunakan sudut pandang pertama, yakni fiqh, atau hukum formal. Tapi ternyata tidak juga. Ada maling yang mencuri di suatu kampung, kontan saja masyarakat langsung memberikan hukuman—entah dengan menggebuki beramai-ramai atau menyeret ke kantor polisi setelah kondisi si maling tadi babak belur, atau membakarnya hidup-hidup. Ada dua orang lelaki kehilangan motor. Investigasi. Datang ke desa yang diduga tempat pencurinya. Sampai di sana malah diteriaki sebagai maling. Orang mengeroyoknya dan dibakar hidup-hidup.

Akhlak sosial yang dewasa melakukan etika untuk menanyakan terlebih dahulu, apa latar belakang dia mencuri. Mungkin karena isterinya akan melahirkan, sementara dia tidak mempunyai uang sama sekali. Karena kepepet dan berjumpa momentum, maka terpaksa dia mencuri. Penanganan terhadap si maling tadi, jika dilihat dari sudut pandang yang kedua ini, si maling tetap dihukum atau diserahkan ke polisi, tetapi masyarakat berusaha untuk memenuhi kebutuhannya yang mendesak itu.

Bila masyarakat kita sudah berada dalam lingkaran taqwa, sebenarnya tidak ada kesulitan dalam mengatasi persoalan-persoalan seperti di atas. Jika si A membutuhkan pertolongan atau bantuan karena isterinya akan melahirkan, maka si A menyampaikan kebutuhannya tadi—secara syariat kepada si B, namun hakikatnya memohon kepada Allah—sehingga Allah akan memudahkan kepada si A dengan lantaran rizkinya dari si B. Maka, secara batin (hakikat), si A berterima kasih kepada Allah, sedangkan secara lahiriyah (dhohir), dia berterima kasih kepada si B. Dari sini tampak kontinuitas antara dimensi horisontal dengan dimensi vertikal. Bukankah segenap niat dan aktivitas kita selalu berkaitan dengan dua dimensi itu?

(Kitab Ketentraman/ Republika/ PmBNetDok)

Trio Bomber, Surga atau Neraka?: Hanya Sebuah Anekdot

Trio Bomber, Surga atau Neraka?:

Hanya Sebuah Anekdot

Oleh Irwan Masduqi

Tatkala hari hisab tiba, manusia yang tak terhitung jumlahnya rela antri panjang di depan pintu surga dan neraka. Jantung mereka berdebar dan berdetak tak karuan menunggu hasil penghitungan amal. Malaikat yang sedang bertugas memanggil mereka satu persatu sambil menenteng buku catatan amal.

Dengan suara keras, malaikat memanggil nama Imam Abu Hanifah untuk dihisab. Dengan mudah Abu Hanifah lolos masuk surga karena di dunia beliau tak menyia-nyiakan “akal”-nya untuk berijtihad memahami agama Islam secara rasional. Di surga, Abu Hanifah berkumpul dengan Umar bin Khatab. Umar bin Khathab adalah kolega nabi yang sangat rasional yang mensyukuri nikmat akal dengan cara berpikir. Umar bin Khathab senantiasa memahami al-Quran dengan pendekatan kontekstual- hermeneutis.

Giliran kedua adalah Tulkiyem, pelacur Sarkem (Pasar Kembang) Yogyakarta . Tak terduga, Tulkiyem juga masuk surga. Malaikat bilang, “dia masuk surga karena dia melacur tidak hendak melawan agama dan Allah, dia melacur karena melawan nasib hidupnya demi sesuap nasi dan membelikan susu buat anaknya. Yang masuk neraka justru orang-orang kaya, penguasa, dan agamawan yang tak punya kepedulian serta kepekaan sosial. Mereka tak memberi lahan perkerjaan dan pembinaan kepada para pelacur”.

Giliran ketiga adalah si Dul, mahasiswa al-Azhar Cairo . Sungguh mengejutkan, dia masuk neraka. Sayang sekali. Malaikat berkata, “dia masuk neraka karena menipu orang tuanya. Orang tuanya susah payah menguras keringan mengumpulkan uang recehan untuk membiayai si Dul di Cairo. E…e…eeeee si Dul malah malas-malasan tak mau belajar. Dia menipu dan mendurhakai orang tuanya. Dia itu mahasiswa goblok, tak pernah membaca buku, tapi sukanya mencibir dan meremehkan teman-temannya yang mengembangkan kritisisme”.

Amrozi cs sudah tidak sabar menunggu giliran hisab. Sambil pegang-pegang jenggot, mereka kelihatan penuh optimisme bisa masuk surga. Orang-orang di sekitar mereka pun bertanya, “kenapa kalian tak takut menghadapi hisab”?

Amrozi cs menjawab, “siapa takut? kami sudah membawa tiket surga. Kalau kalian ingin beli tiket surga, bergabung saja dengan orang-orang Islam radikal. Mereka jual obralan tiket”.

Dus, giliran keempat adalah Amrozi cs. Hisab berlangsung alot. Saat itu terjadi perdebatan sengit antara Amrozi cs dengan malaikat. Malaikat bilang, “tiket surga kalian tidak ada gunanya alias muspro”. Tapi Amrozi cs memaksa dimasukkan ke surga dengan dalih telah susah payah ikut program “bombing training” guna menghancurkan tempat-tempat maksiat. Abdul Aziz alias Imam Samudra, dengan mata tajamnya, tak sungkan memelototi malaikat sembari teriak kencang Allahu Akbar. Sementara Amrozi dan Ali Gufron alias Mukhlash cengar-cengir bingung tujuh keliling mendengar kata-kata malaikat tadi sambil memutar tasbih.

Malaikat bertanya, “kenapa kalian melakukan teror”? Dengan diplomatis Amrozi cs menjawab, “kami ingin mengamalkan hadits amar ma’ruf nahi munkar bil yad. ‘Yad’ artinya adalah kekerasan dengan bom”.

Hahaha, malaikat ketawa terbahak-bahak mendengar jawaban konyol Amrozi cs. Sambil menahan ketawa, malaikat menjawab balik, “yang boleh amar ma’ruf nahi munkar dengan cara merusak fasilitas umum itu hanya pemerintah, kalau warga sipil tak boleh dengan cara itu. Heh dasar kalian sok pahlawan jadi polisi swasta!!!”.

Amrozi cs dengan nada lirih dan agak sedikit grogi bertanya, “masak sih”? Malaikat menjawab sambil senyum, “ya iyalah… masak ya iya dong. Mulan aja namanya diganti Mulan Jamilah, bukan Mulan Jamidong… duren aja dibelah, bukan dibedong”. Malaikat kemudian berargumen, “Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din pernah berkata bahwa umat Islam dalam amar ma’ruf nahi munkar tidak boleh disertai perusakan harta orang lain. Imam al-Ghazali memberi contoh yang prosedural dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar kepada para peminum khamr dan penjual MIRAS (Minuman Keras). Dalam konteks ini, khomr/MIRAS boleh ditumpahkan (iraqatul khamri), tetapi botolnya tak boleh dipecah, karena botol adalah harta halal milik penjual dan peminum. Dengan demikian, tindakan teror kalian (baca: Amrozi cs) yang destruktif dengan merusak fasilitas umum (harta orang lain) dan juga tindakan brutal FPI tidak dapat dibenarkan karena tidak sesuai prosedur. Tindakan itu justru merusak citra Islam, tahu!!!”.

Amrozi cs tetap ngotot dan ngeyel agar dimasukkan ke surga. Mereka berdalih, “pokoknya kami harus dimasukkan ke surga (yang konon banyak bidadari yang cantik itu), karena kami telah memerangi orang-orang kafir (antek Amerika dan thaghut) di Bali seperti yang diperintahkan Allah yang berbunyi faqtulu al-musyrikina kaffah…faqtulu al-musyikin haytsu wajadtumuhum/ tsaqiftumuhum ….faqtuluhum hatta latakuna fitnah (bunuhlah semua orang musyrik…di mana pun kalian berjumpa dengan mereka…bunuhlah mereka hingga tak ada fitnah)”. Amrozi cs berargumen bahwa “ayat-ayat itu menurut satu versi dalam tafsir al-Qurthubi menusakh dan mengamandemen ayat-ayat yang turun sebelumnya tentang anjuran mengampuni orang kafir dan jihad defensif terbatas dari agresi musyrikin, sehingga kesimpulan Amrozi cs jihad adalah ofensif”.

Kwakakakaka, malaikat tertawa terbahak-bahak untuk kedua kalinya mendengar jawaban Amrozi cs yang konyol itu. Karena penasaran, malaikat mendatangkan Imam al-Qurthubi untuk dimintai klarifikasi dan keterangan lebih lanjut. Malaikat bertanya, “wahai Imam al-Qurthubi benarkah dalam tafsirmu ada konsep jihad ofensif”? Imam al-Qurthubi menjawab, “dalam tafsir, saya memang mengutarakan dua pendapat; antara ‘versi tekstual pro nasikh-mansukh yang menyimpulkan jihad ofensif’ dan ‘versi kontekstual kontra nasikh-mansukh yang menyimpulkan jihad defensif’”. Coba dech malaikat Anda rujuk dalam Tafsîr al-Qurthûbi, cetakan Dar al-Sya‘bi, vol. II, h. 71, vol. I, h. 62, vol. XVII, h. 203, & vol. XIX, h. 149, vol. II, h. 347, vol. II, h. 35 & vol. V, h. 281, vol. III, h. 216, vol. II, h. 192 & 353”. “Sial, Amrozi cs berarti memilih jihad ofensif dengan mencari justifikasi dari penafsiran yang tekstual”, keluh malaikat. Malaikat memperingatkan, “penafsiran tekstual itu reduktif dan rawan menimbulkan stigma bahwa Islam adalah agama pedang, agama bom, dan agama kekerasan, seperti stigma negatif kalangan mainstream Barat. Andaikan nasikh-manskuh kalian terapkan dalam ayat-ayat jihad yang sejatinya turun secara gradual, sama saja kalian menganggap sebagian ayat al-Quran yang turun pada fase-fase awal sebagai ayat impoten dan tak punya fungsi sosial untuk konteks kekinian. Nah, para pemikir Islam yang kritis dan progresif yang berdiri di barisan antrian hanya mangguk-mangguk menyetujui statemen malaikat tadi.

Amrozi cs berapologi, “oke dech, ijtihad kami memang salah, tapi—seperti kata Rasulullah saw—kami tetap berhak mendapatkan pahala satu (man akhtha`a falahu ajrun wahidun). Malaikat menimpali, “kalian memang mendapatkan pahala satu, tapi pahala itu belum mencukupi untuk dijadikan modal masuk surga. Pahala kalian yang satu itu tak seberapa jika dibandingkan dengan dosa kalian akibat membunuh orang-orang Bali dan wisatawan legal yang telah mendapat jaminan keamanan dari negara. Ingat itu wahai teroris yang berjubah!!!. Maukah kalian aku masukkan ke neraka”?

Amrozi cs, yang kali ini diwakili oleh Ali Gufron, mengutarakan keberatan. Dengan lantang ia berkilah, “kami tidak bermaksud membunuh orang tak berdosa, kami hanya ingin memerangi kemungkaran. Selain itu, kami juga sudah dieksekusi sebagai balasan perbuatan kami, meski kami sebenarnya tak rela dengan eksekusi itu”. “Iya, tapi cara amar ma’ruf nahi munkar kalian, seperti saya katakan tadi, tidak prosedural”, tegas malaikat. Malaikat diam sejenak mempertimbangkan matang-matang. Amrozi cs pun menunggu keputusan malaikat sambil pegang-pegang jenggot lagi.

Malaikat meneruskan hisabnya, “tadi kalian bilang bahwa kalian tidak rela dengan eksekusi itu, itu tandanya kalian tidak ikhlas menerima hukum qishash yang sudah disyariatkan Allah. Dengan demikian dosa kalian belum dihapus dan diampuni. Sudahlah kalian aku masukkan ke neraka saja ya”?

Imam Samudra keberatan, “please malaikat, kami sudah dieksekusi, masak mau dihukum lagi dengan diceburkan ke neraka”?. Malaikat geleng-geleng kepala, “kalian memang bandel, sudah aku katakan kalau eksekusi itu belum bisa menghapus dosa kalian, karena kalian tidak ikhlas menerima hukuman itu”. Imam Samudra berkilah lagi, “buktinya apa kalau kami tidak ikhlas”?

Malaikat dengan mudah menemukan bukti di google.com (http://news. okezone.com/ index.php/ ReadStory/ 2008/11/05/ 1/161021/ polri-bantah- tangkap-pembuat- situs-wasiat- amrozi-cs) yang memuat wasiat profokatif Amrozi cs bahwa “dalam surat wasiat tersebut, mereka menyerukan agar para pendukung memerangi dan membunuh pihak terkait eksekusi mati, seperti Presiden SBY, Wapres Jusuf Kalla, Menkum HAM Andi Mattalata, Jaksa Agung Hendarman Supandji, Jampidum AH Ritonga, dan Ketum PBNU Hasyim Muzadi”. Malaikat dengan tegas menvonis, “Jadi kalian harus aku masukkan ke neraka dengan dalih berlapis: 1) tindakan teror bom bali; 2) tidak ikhlas menerima hukuman eksekusi; 3) menyebarkan wasiat yang profokatif dan berisi pemberontakan terhadap pemerintah”.

Amrozi cs masih berkilah, “pengeboman dan wasiat itu tidak bermaksud untuk macam-macam, semua itu kami lakukan hanya demi tujuan memerangi maksiat dan jihad”. Malaikat pun menjawab dengan analogis-argumentat if, “oke jika demikian alasan kalian, maka kalian akan aku masukkan ke dalam ‘tong’ kemudian aku tendang ‘tong’ itu agar menggelinding masuk ke jurang neraka. Aku tak bermaksud memasukkan kalian ke neraka, tapi aku hanya bertujuan memasukkan ‘tong’ ke neraka sebagai tambahan bahan bakar neraka”. Amrozi pun akhirnya tak berdaya dan menyesali perbuatannya di dunia.

Di Zawiyah Sebuah Masjid

Sesudah shalat malam bersama, beberapa santri yang besok pagi diperkenankan pulang kembali ke tengah masyarakatnya, dikumpulkan oleh Pak Kiai di
zawiyyah sebuah masjid.

Seperti biasanya, Pak Kiai bukannya hendak memberi bekal terakhir, melainkan menyodorkan pertanyaan-pertanya an khusus, yang sebisa mungkin belum usah
terdengar dulu oleh para santri lain yang masih belajar di pesantren.

"Agar manusia di muka bumi ini memiliki alat dan cara untuk selamat kembali ke Tuhannya," berkata Pak Kiai kepada santri pertama, "apa yang Allah
berikan kepada manusia selain alam dan diri manusia sendiri?"

"Agama," jawab santri pertama.

"Berapa jumlahnya?"

"Satu."

"Tidak dua atau tiga?"

"Allah tak pernah menyebut agama atau nama agama selain yang satu itu, sebab memang mustahil dan mubazir bagi Allah yang tunggal untuk memberikan lebih
dari satu macam tuntunan."

**

Kepada santri kedua Pak Kiai bertanya, "Apa nama agama yang dimaksudkan oleh temanmu itu?"

"Islam."

"Sejak kapan Allah mengajarkan Islam kepada manusia?"

"Sejak Ia mengajari Adam nama benda-benda. "

"Kenapa kau katakan demikian?"

"Sebab Islam berlaku sejak awal mula sejarah manusia dituntun. Allah sangat adil. Setiap manusia yang lahir di dunia, sejak Adam hingga akhir zaman,
disediakan baginya sinar Islam."

"Kalau demikian, seorang Muslimkah Adam?"

"Benar, Kiai. Adam adalah Muslim pertama dalam sejarah umat manusia."

**

Pak Kiai beralih kepada santri ketiga. "Allah mengajari Adam nama benda-benda, " katanya, "bahasa apa yang digunakan?"

Dijawab oleh santri ketiga, "Bahasa sumber yang kemudian dikenal sebagai bahasa Al-Qur'an."

"Bagaimana membuktikan hal itu?"

"Para sejarahwan bahasa dan para ilmuwan lain harus bekerja sama untuk membuktikannya. Tapi besar kemungkinan mereka takkan punya metode ilmiah,
juga tak akan memperoleh bahan-bahan yang diperlukan. Manusia telah diseret oleh perjalanan waktu yang sampai amat jauh sehingga dalam kebanyakan hal
mereka buta sama sekali terhadap masa silam."

"Lantas bagaimana mengatasi kebuntuan itu?"

"Pertama dengan keyakinan iman. Kedua dengan kepercayaan terhadap tanda-tanda yang terdapat dalam kehendak Allah."

"Maksudmu, Nak?"

"Allah memerintahkan manusia bersembahyang dalam bahasa Al-Qur'an. Oleh karena sifat Islam adalah rahmatan lil 'alamin, berlaku universal secara
ruang maupun waktu, maka tentulah itu petunjuk bahwa bahasa yang kita gunakan untuk shalat adalah bahasa yang memang relevan terhadap seluruh
bangsa manusia. Misalnya, karena memang bahasa Al-Qur'anlah yang merupakan akar, sekaligus puncak dari semua bahasa yang ada di muka bumi."

**

"Temanmu tadi mengatakan," berkata Pak Kiai selanjutnya kepada santri keempat, "bahwa Allah hanya menurunkan satu agama. Bagaimana engkau
menjelaskan hal itu?"

"Agama Islam dihadirkan sebagaimana bayi dilahirkan," jawab santri keempat, "Tidak langsung dewasa, tua atau matang, melainkan melalui tahap-tahap atau
proses pertumbuhan. "

"Apa jawabmu terhadap pertanyaan tentang adanya berbagai agama selain Islam?"

"Itu anggapan kebudayaan atau anggapan politik bukan anggapan akidah."

"Apakah itu berarti engkau tak mengakui eksistensi agama-agama lain?"

"Aku mengakui nilai-nilai yang termuata dalam yang disebut agama-agama itu - sebelum dimanipulasikan - sebab nilai-nilai itu adalah Islam jua adanya pada
tahap tertentu, yakni sebelum disermpurnakan oleh Allah melalui Muhammad rasul pamungkasNya. Bahwa kemudian berita-berita Islam sebelum Muhammad itu
dilembagakan menjadi sesuatu yang disebut agama - dengan, ternyata, berbagai penyesuaian, penambahan atau pengurangan - sebenarnya yang terjadi adalah
pengorganisasian. Itu bukan agama Allah, melainkan rekayasa manusia."

**

Pak Kiai menatapkan matanya tajam-tajam ke wajah santri kelima sambil bertanya, "Agama apakah yang dipeluk oleh orang-orang beriman sebelum
Muhammad?"

"Islam, Kiai."

"Apa agama Ibrahim?"

"Islam."

"Apa agama Musa?"

"Islam."

"Dan agama Isa?"

"Islam."

"Sudah bernama Islamkah ketika itu?"

"Tidak mungkin, demikian kemauan Allah, ada nama atau kata selain Islam yang sanggup mewakili kandungan-kandungan nilai petunjuk Allah. Islam dan
kandungannya tak bisa dipisahkan, sebagaimana api dengan panas atau es dengan dingin. Karena ia Islam, maka demikianlah kandungan nilainya. Karena
demikian kandungan nilainya, maka Islamlah namanya. Itu berlaku baik tatkala pengetahuan manusia telah mengenal Islam atau belum."

**

"Maka apakah gerangan arti yang paling inti dari Islam?" Pak Kiai langsung menggeser pertanyaan kepada santri keenam.

"Membebaskan, " jawab santri itu.

"Pakailah kata yang lebih memuat kelembutan!"

"Menyelematkan, Kiai."

"Siapa yang menyelamatkan, siapa yang diselamatkan, serta dari apa dan menuju apa proses penyelamatan atau pembebasan itu dilakukan?"

"Allah menyelamatkan manusia, diaparati oleh para khulafa' atas bimbingan para awliya dan anbiya. Adapun sumber dan tujuannya ialah membebaskan
manusia dari kemungkinan tak selamat kembali ke Allah. Manusia berasal dari Allah dan sepenuhnya milik Allah, sehingga Islam - sistem nilai hasil karya
Allah yang dahsyat itu - dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari cengkeraman sesuatu yang bukan Allah."

"Apa sebab agama anugerah Allah itu tak bernama Salam, misalnya?"

"Salam ialah keselamatan atau kebebasan. Itu kata benda. Sesuatu yang sudah jadi dan tertentu. Sedangkan Islam itu kata kerja. Berislam ialah beramal,
berupaya, merekayasa segala sesuatu dalam kehidupan ini agar membawa manusia kepada keselamatan di sisi Allah."

**

Pak Kiai menuding santri ketujuh, "Tidakkah Islam bermakna kepasrahan?"

"Benar, Kiai," jawabnya, "Islam ialah memasrahkan diri kepada kehendak Allah. Arti memasrahkan diri kepada kehendak Allah ialah memerangi segala
kehendak yang bertentangan dengan kehendak Allah."

"Bagaimana manusia mengerti ini kehendak Allah atau bukan?"

"Dengan memedomani ayat-ayatNya, baik yang berupa kalimat-kalimat suci maupun yang terdapata dalam diri manusia, di alam semesta, maupun di setiap
gejala kehidupan dan sejarah. Oleh karena itu Islam adalah tawaran pencarian yang tak ada hentinya."

"Kenapa sangat banyak orang yang salah mengartikan makna pasrah?"

"Karena manusia cenderung malas mengembangkan pengetahuan tentang kehendak Allah. Bahkan manusia makin tidak peka terhadap tanda-tanda kehadiran Allah
di dalam kehidupan mereka. Bahkan tak sedikit di antara orang-orang yang rajin bersembahyang, sebenarnya tidak makin tinggi pengenalan mereka
terhadap kehendak Allah. Mereka makin terasing dari situasi karib dengan kemesraan Allah. Hasilnya adalah keterasingan dari diri mereka sendiri.
Tetapi alhamdulillah, situasi terasing dan buntu yang terjadi pada peradaban mutakhir manusia, justru merupakan awal dari proses masuknya umat manusia
perlahan-lahan ke dalam cahaya Islam. Sebab di dalam kegelapanlah manusia menjadi mengerti makna cahaya."

**

"Cahaya Islam. Apa itu gerangan?"

Santri ke delapan menjawab, "Pertama-tama ialah ilmu pengeahuan. Adam diajari nama benda-benda. Itulah awal mula pendidikan kecendekiaan, yang
kelak direkonstruksi oleh wahyu pertama Allah kepada Muhammad, yakni iqra'.
Itulah cahaya Islam, sebab agama itu dianugerahkan kepada makhluk tertinggi yang berpikiran dan berakal budi yang bernama manusia."

"Pemikiranmu lumayan," sahut Pak Kiai, "Cahaya Islam tentunya tak dapat dihitung jumlahnya serta tak dapat diukur keluasan dan ketinggiannya: kita
memerlukan tinta yang ditimba dari tujuh lautan lebih untuk itu. Bersediakah engkau kutanyai barang satu dua di antara kilatan-kilatan cahaya mahacahaya
itu?"

"Ya, Kiai."

"Sesudah engkau sebut Adam, apa yang kau peroleh dari Idris?"

"Dinihari rekayasa teknologi."

"Dari Nuh?"

"Keingkaran terhadap ilmu dan kewenangan Allah."

"Hud?"

"Kebangunan kembali menuju salah satu puncak peradaban dan teknologi
canggih."

"Baik. Tak akan kubawa kau berhenti di setiap terminal. Tetapi jawablah:
pada Ibrahim, terminal Islam apakah yang engkau temui?"

"Rekonstruksi tauhid, melalui metode penelitian yang lebih memeras pikiran
dan pengalaman secara lebih detil."

"Pada Ismail?"

"Pengurbanan dan keikhlasan."

"Ayyub?"

"Ketahanan dan kesabaran."

"Dawud?"

"Tangis, perjuangan dan keberanian."

"Sulaiman?"

"Ke-waskita- an, kemenangan terhadap kemegahan benda, kesetiaan ekologis dan keadilan."

"Sekarang sebutkan yang engkau peroleh dari Musa!"

"Keteguhan, ketegasan haq, ilmu perjuangan politik, tapi juga kedunguan dalam kepandaian."

"Dari Zakaria?"

"Dzikir."

"Isa?"

"Kelembutan cinta kasih, alam getaran hub."

"Adapun dari Muhammad, anakku?"

"Kematangan, kesempurnaan, ilmu manajemen dari semua unsur cahaya yang dibawa oleh para perutusan Allah sebelumnya."

**

Akhirnya tiba kepada santri kesembilan. "Di tahap cahaya Islam yang manakah kehidupan dewasa ini?"

"Tak menentu, Kiai," jawab sanri terakhir itu, "Terkadang, atau bahkan amat sering, kami adalah Adam yang sembrono dan nekad makan buah khuldi. Di saat
lain kami adalah Ayyub - tetapi - yang kalah oleh sakit berkepanjangan dan putus asa oleh perolehan yang amat sedikit. Sebagian kami memperoleh jabatan
seperti Yusuf tapi tak kami sertakan keadilan dan kebijakannya; sebagian lain malah menjadi Yusuf yang dicampakkan ke dalam sumur tanpa ada yang
mengambilnya. Ada juga golongan dari kami yang telah dengan gagahnya membawa kapak bagai Ibrahim, tapi sebelum tiba di gudang berhala, malah berbelok
mengerjakan sawah-sawah Fir'aun atau membelah kayu-kayu untuk pembangunan istana diktator itu."

Pak Kiai tersenyum, dan santri itu meneruskan, "Mungkin itu yang menyebabkan seringkali kami tersembelih bagai Ismail, tapi tak ada kambing yang
menggantikan ketersembelihan kami."

"Maka sebagian dari kami lari bagai Yunus: seekor ikan paus raksasa menelan kami, dan sampai hari ini kami masih belum selesai mendiskusikan dan
menseminarkan bagaimana cara keluar dari perut ikan."

Pak Kiai tertawa terkekeh-kekeh.

"Kami belajar pidato seperti Harun, sebab dewasa ini berlangsung apa yang disebut abad informasi. Tetapi isi pidato kami seharusnya diucapkan 15 abad
yang lalu, padahal Musa-Musa kami hari ini tidaklah sanggup membelah samudera."

"Anakku," Pak Kiai menyela, "pernyataan- pernyataanmu penuh rasa sedih dan juga semacam rasa putus asa."

"Insyaallah tidak, Kiai," jawab sang sanri, "Cara yang terbaik untuk menjadi kuat ialah menyadari kelemahan. Cara yang terbaik untuk bisa maju ialah
memahami kemunduran. Sebodoh-bodoh kami, sebenarnya telah pula berupaya membuat tali berpeluru Dawud untuk menyiapkan diri melawan Jalut. Tongkat
Musa kami pun telah perlahan-lahan kami rekayasa, agar kelak memiliki kemampuan untuk kami lemparkan ke halaman istana Fir'aun dan menelan semua
ular-ular sihir yang melata-lata. Kami juga mulai berguru kepada Sulaiman si raja agung pemelihara ekosistem. Seperti Musa kami juga belajar berendah
hati kepada ufuk ilmu Khidhir. Dan berzikir. Bagai Zakaria, kami memperpeka kehidupan kami agar memperoleh kelembutan yang karib dengan ilmu dan
kekuatan Allah. Terkadang kami khilaf mengambil hanya salah satu watak Isa, yakni yang tampak sebagai kelembekan. Tetapi kami telah makin mengerti
bagaiman berguru kepada keutuhan Muhammad, mengelola perimbangan unsur-unsur, terutama antara cinta dengan kebenaran. Sebab tanpa cinta,
kebenaran menjadi kaku dan otoriter. Sedangkan tanpa kebenaran, cinta menjadi hanya kelemahan, keterseretan, terjebak dalam kekufuran yang samar,
hanyut dan tidak berjuang."

**

Betapa tak terbatas apabila perbincangan itu diteruskan jika tujuannya adalah hendak menguak rahasia cahaya Islam.

"Sampai tahap ini," kata Pak Kiai, "cukuplah itu bagi kalian, sesudah dua pertanyaan berikut ini kalian jawab."

"Kami berusaha, Kiai," jawab mereka.

"Bagaimana kalian menghubungkan keyakinan kalian itu dengan keadaan masyarakat dan negeri di mana kalian bertempat tinggal?"

"Kebenaran berlaku hanya apabila diletakkan pada maqam yang juga benar. Juga setiap kata dan gerak perjuangan," berkata salah seorang.

"Sebaik-baik urusan ialah di tengah-tengahnya, kata Rasul Agung. Harus pas.
Tak lebih tak kurang," sambung lainnya.

"Muhammad juga mengajarkan kapan masuk Gua Hira, kapan terjun ke tengah masyarakat," sambung yang lain lagi.

"Mencari titik koordiat yang paling tepat pada persilangan ruang dan waktu, atau pada lalu lintas situasi dan peta sejarah."

"Ada dakwah rahasia, ada dakwah terang-terangan. "

"Hikmah, maw'idhah hasanah, jadilhum billati hiya ahsan."

"Makan hanya ketika lapar, berhenti makan sebelum kenyang. Itulah irama. Itulah sesehat-sehat kesehatan, yang berlaku bagi tubuh maupun proses
sejarah."

"Perjuangan ialah mengetahui kapan berhijrah ke Madinah dan kapan kembali ke Makkah untuk kemenangan."

"Dan di atas semua itu, Rasulullah Muhammad bersedia tidur beralaskan daun kurma atau bahkan di atas lantai tanah."

Pak Kiai tersenyum, "Apa titik tengah di antara kutub kaku dan kutub lembek, anak-anakku? "

"Lentur, Kiai!" kesembilan santri itu menjawab serentak, karena kalimat itulah memang yang hampir setiap hari mereka dengarkan dari mulut Pak Kiai
sejak hari pertama mereka datang ke pesantren itu.

"Fal-yatalaththaf! " ucap Pak Kiai akhirnya sambil berdiri dan menyalami santri-santrinya satu per satu, "titik pusat Al-Qur'an!"
(EAN/1987/ PmBNetDok)

Thawaf, Mudik dan Ilaihi Rojiun

Sejak sekitar sepuluh tahun yang lalu orang berbicara tentang kebangkitan Islam atau Islamic revival. Hal itu biasanya dihubungkan dengan arus pembusukan ke-budayaan manusia modern. Komunisme hancur, kapital-isme akan menjadi “Buta Cakil” yang akan mbrodhol ususnya oleh kerisnya sendiri. Peradaban abad ke-20 yang sekularistik akan dituntut oleh nurani ummat manusia kenapa tak bisa memproduk fasilitas-faslitas hidup dan metoda sejarah yang bisa membahagiakan manusia.
Di ujung semua gejala itu akan berlaku sunnatullah. Di mana gejala proses respiritualisasi akan berlangsung. Masyarakat modern sekuler akan kembali kepada agama. Nurani zaman merindukan kembali ayat-ayat Allah. Keangkuhan peradaban modern akan mengalami konversi dan titik balik ke nilai-nilai transendental.
Akan tetapi permasalahannya, dari mana arus balik itu akan bermula? Apa dan siapa yang memeloporinya? Di wilayah mana dari bumi itu ia akan berlangsung? Kelompok masyarakat mana yang akan menandai awal kebangkitan itu?
Dewasa ini air kawah tampaknya sudah mengalir keluar dari rahim sejarah. Persoalannya, bayi macam apa yang akan lahir?
***
Apakah Khomeinisme dan Revolusi Iran yang tetap gegap gempita itu boleh dianggap sebagai pelopor dari kebangkitan Islam? Suasana Revolusioner Islam pemerintah dan masyarakat Iran sampai hari, yang selalu meneriakkan USA, Go to Hell! —Apakah bisa diindikasikan sebagai “air kawah” itu? Di mana Amerika Serikat diletakkan sebagai simbol utama dari kesesatan peradaban sekuler?

Mungkin bisa, mungkin tidak.

Mungkin sejarah Iran pasca-Syah Iran memang bertugas menancapkan fundamen bangunan Baitullah peradaban Islam di zaman Modern. Bukankah mereka memang secara tak sengaja disebut sebagai kaum fundamentalis? Iran meletakkan dasar, cor batu-batu, baja pilar-pilar, tulang belulang bangunan yang kini belum bisa kita bayangkan akan bagaimana.
Ketika rumah masih berada pada tahap pademi dan pilar, ia memang belum indah, masih terkesan serba batu, serta keras, serba tidak nyaman. Orang Iran berkorban dicitrai seperti itu oleh proses sejarah pembangkitan Islam di muka bumi modern.
Nanti masyarakat ilmuwan di belahan bumi Utara —terutama di Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea— akan terpergok oleh kebenaran Islam melalui eksplorasi tuntas ilmu pengetahuan dan teknologi mereka. Mereka akan terhenyak dan terbangun dari tidur teologi berabad-abad lamanya. Mereka akan dengan sendirinya bertugas pada pasca pademi. Mereka akan membangun tembok-tembok, memasang atap, blandar, genting, dan cungkup puncak. Dan mereka sudah memulainya, meskipun belum dimaksudkan untuk Islam.
Kemudian kaum muslimin Indonesia, ummat Islam negeri maritim, negeri kepulauan dan hutan, negeri hijau dan keindahan —akan bertugas se¬sudahnya. Orang Islam Indonesia akan menjadi seruman penghias, mengecat, mengukir, mbraeni, mamayu hayuning rumah kebangkitan peradaban Islam.
Lihatlah budaya Lebaran kita. Pandanglah mobilisasi Idul Fitri kita. Saksikanlah kita menghiasi penemuan ruhani dan rumbai-rumbai jasmani. Tataplah jutaan orang mengalir, memenuhi kendaraan antar kota, berduyun-duyun mendatangi kembali sumber sejarahnya.
Orang mudik itu melaksanakan teologi ilaihi raji’un. Kembali ke Allah, melalui asal keluarga dan washilah kesejarahan lainnya.
Orang mudik itu mengayubagya sumber hidupnya. Mendatangi kembali sangkan hidupnya yang sekaligus merupakan paran hidupnya. Kampung halaman, keluarga, bapak ibu, kakek nenek, kesadaran rahim ibu, dan kelahiran mereka di dunia sampai pada akhirnya sesudah proses mudik geneologis-historis ini, ruhani mereka meneruskan perjalanan itu ke mudik teologis. Yakni, kesadaran dan keridhaan bahwa kita semua ini berasal dari Allah dan sedang menempuh perjalanan kembali kepada Allah juga, karena tidak ada tempat lain untuk kembali.
Mestinya, dengan Idul Fitri, dengan mudik segala arti —kita bisa mulai menakar, mempertim¬bangkan dan menentukan setiap langkah kita besok sesudah Hari Raya —menjadi langkah karena Allah, langkah milik Allah, langkah untuk Allah, bahkan langkah Allah itu sendiri.
(Emha Ainun Nadjib/Puasa Itu Puasa/Progress/ PmbNetDok)

Min Haitsu L Yahtasib

Terkadang Tuhan meletakkan rahmat-Nya di tempat-tempat yang sama sekali tidak menarik bagi manusia. Terkadang Tuhan menyembunyikan anugerah-Nya di balik momentum yang tak terduga oleh siapa pun. Terkadang Tuhan melakukan penyelamatan, memberikan rizki, serta menjanjikan rahasia-rahasia, di belakang suatu kejadian yang seakan-akan bernama musibah atau kecelakaan.

Beberapa hari saya di Jakarta, saya menjumpai berbagai kenyataan dan gejala di mana Tuhan “menyembunyikan barang berharga di tempat yang sepele dan tidak kentara”.

Saya didatangkan ke berbagai tempat untuk dijadikan “keranjang sampah’’ bagi uneg-uneg, keluhan, protes, tetapi juga semangat perjuangan. Sejumlah direktur perusahaan, pengusaha, dan tokoh-tokoh profesional yang hidupnya selama itu dikategorikan jauh dari wilayah-wilayah keagamaan, spiritual, atau moral sosial, berpidato panjang di depan saya, mengucapkan berbagai gagasan yang sebenarnya sangat tepat untuk diucapkan dalam khotbah Jum’at.

Saya bertemu dengan ghirrah agama di tengah pasar kapitalisme. Saya bertemu dengan kerinduan yang menggebu-gebu kepada Tuhan dan nurani kemanusiaan di tengah suasana-suasana yang selama ini kita asumsikan terdiri atas nafsu, kebinatangan, dan keserakahan. Saya berjumpa dengan siratan ayat-ayat Allah di tengah atmosfer kehidupan kota metropolitan yang selama ini kita sepakati sebagai dunia yang hanya berisi materialisme, takhayul konsumsi, hedonisme, dan kemubadziran.

Min haitsu la yahtasib. Jatuh dan bangkitnya nilai, gelap dan terangnya keadaan, jauh dan dekatnya para hamba kepada Allah, naik turunnya kemesraan dengan Sang Pencipta, berlangsung tidak pada ruang dan waktu yang bisa kita perhitungkan. Selalu saja Allah menginvestasikan sesuatu yang tak pernah diduga-duga oleh siapa pun. Innaka la tahdi man ahbabta, wa-la-kinnallaha yahdi man-yasya’. Sesungguhnya engkau tak akan pernah sanggup memberi petunjuk kepada siapa yang kau kehendaki untuk mendapatkan petunjuk, melainkan Allah yang Maha Sanggup menghidayahi siapapun saja yang dikehendaki- Nya.

Saya mencoba menarik garis dari snapshot keadaan yang sekilas itu kepada sejumlah titik. Pertama, kalau kaum muslimin berbicara tentang kebangkitan Islam, asosiasi utama yang muncul di benak mereka adalah semaraknya tempat-tempat ibadah, membengkaknya komunitas-komunitas religius, meningkatnya akses orang Islam terhadap struktur sejarah, dan sebagainya.

Dengan kata lain, kebangkitan Islam dibayangkan terutama bermula dari kantong-kantong kultur agama. Yang ingin saya catat di situ adalah kenyataan yang berbeda: justru dari tengah dunia yang penuh nafsu, kerakusan, dan kebinatangan lahir tetesan-tetesan uluhiyah. Dari sub-kultur metropolitan, muncul kelahiran baru kesadaran beragama. Dari lingkungan-lingkung an yang selama ini kita ketahui hanya berisi keduniaan, ternyata nongol kerinduan keakhiratan yang lebih mendalam dan lebih dahsyat dibanding yang bisa dirasakan di masjid-masjid.

Intensitas kerinduan keakhiratan dari daerah “rawan akhlaq”, baik kultural maupun struktural, itu terjadi justru karena cahaya itu memiliki sifat lebih ekstrem terhadap kegelapan dibanding terhadap ruang yang tak begitu gelap. Kalau Anda melakukan ma-lima dalam waktu lama, kemudian Anda tiba pada kondisi taubah nashuha, maka tangisnya akan lebih mendalam dibanding tangis orang-orang yang tak begitu punya dosa.

Mengapa kesadaran keagamaan yang lahir dari wilayah-wilayah macam ini saya katakan di atas sangat bagus jika diucapkan misalnya sebagai khotbah Jum’at? Karena, keinsafan keilahian itu mereka temukan dari pengalaman-pengalam an kongkret.

Orang-orang semacam ini adalah para pekerja sejarah yang nyata. Mereka adalah pejalan-pejalan struktural, pelaku-pelaku mekanisme kenyataan, yang mengerti persis apa isi dunia, sehingga juga lebih memiliki pemikiran yang strategis dan mendasar jika harus menterjemahkan konversi keagamaannya itu ke dalam aktualisasi realistik.

Sejumlah pemikiran dan program ekstra-bisnis yang para tokoh sudah dan akan lakukan terutama di bidang perekonomian dan pendidikan saya bayangkan sebagai sesuatu yang selama ini seharusnya menjadi program Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Bukankah institusi-institusi keagamaan kita selama itu relatif steril dari sangat banyak permasalahan kongkret ummat dan rakyat Indonesia? Bukankah organisasi-organisa si Islam yang besar dan kecil selama ini tidak cukup serius merelevansikan dirinya kepada tema-tema realistik seperti perintisan kekuatan perekonomian struktural ummat, pengolahan aset-aset ummat Islam untuk “berperang” di tengah pergulatan sejarah yang kongkret? Sungguh, kekuatan agama, kekuatan Tuhan, Kekuatan kebenaran dan keadilan, tidak terutama terletak pada lembaga-lembaga keagamaan yang selama ini kita anggap paling menyangga amanat-amanat tersebut. Kebangkitan kekuatan itu bisa justru terletak di wilayah-wilayah yang kita anggap “musuh agama”. Bahkan, tokoh-tokoh Islam bisa jadi bukanlah mereka-mereka yang selama ini kita anggap sebagai tokoh-tokoh Islam.[]
(Emha Ainun Nadjib/"Puasa Itu Puasa"/PmBNetDok)