Thawaf, Mudik dan Ilaihi Rojiun

Sejak sekitar sepuluh tahun yang lalu orang berbicara tentang kebangkitan Islam atau Islamic revival. Hal itu biasanya dihubungkan dengan arus pembusukan ke-budayaan manusia modern. Komunisme hancur, kapital-isme akan menjadi “Buta Cakil” yang akan mbrodhol ususnya oleh kerisnya sendiri. Peradaban abad ke-20 yang sekularistik akan dituntut oleh nurani ummat manusia kenapa tak bisa memproduk fasilitas-faslitas hidup dan metoda sejarah yang bisa membahagiakan manusia.
Di ujung semua gejala itu akan berlaku sunnatullah. Di mana gejala proses respiritualisasi akan berlangsung. Masyarakat modern sekuler akan kembali kepada agama. Nurani zaman merindukan kembali ayat-ayat Allah. Keangkuhan peradaban modern akan mengalami konversi dan titik balik ke nilai-nilai transendental.
Akan tetapi permasalahannya, dari mana arus balik itu akan bermula? Apa dan siapa yang memeloporinya? Di wilayah mana dari bumi itu ia akan berlangsung? Kelompok masyarakat mana yang akan menandai awal kebangkitan itu?
Dewasa ini air kawah tampaknya sudah mengalir keluar dari rahim sejarah. Persoalannya, bayi macam apa yang akan lahir?
***
Apakah Khomeinisme dan Revolusi Iran yang tetap gegap gempita itu boleh dianggap sebagai pelopor dari kebangkitan Islam? Suasana Revolusioner Islam pemerintah dan masyarakat Iran sampai hari, yang selalu meneriakkan USA, Go to Hell! —Apakah bisa diindikasikan sebagai “air kawah” itu? Di mana Amerika Serikat diletakkan sebagai simbol utama dari kesesatan peradaban sekuler?

Mungkin bisa, mungkin tidak.

Mungkin sejarah Iran pasca-Syah Iran memang bertugas menancapkan fundamen bangunan Baitullah peradaban Islam di zaman Modern. Bukankah mereka memang secara tak sengaja disebut sebagai kaum fundamentalis? Iran meletakkan dasar, cor batu-batu, baja pilar-pilar, tulang belulang bangunan yang kini belum bisa kita bayangkan akan bagaimana.
Ketika rumah masih berada pada tahap pademi dan pilar, ia memang belum indah, masih terkesan serba batu, serta keras, serba tidak nyaman. Orang Iran berkorban dicitrai seperti itu oleh proses sejarah pembangkitan Islam di muka bumi modern.
Nanti masyarakat ilmuwan di belahan bumi Utara —terutama di Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea— akan terpergok oleh kebenaran Islam melalui eksplorasi tuntas ilmu pengetahuan dan teknologi mereka. Mereka akan terhenyak dan terbangun dari tidur teologi berabad-abad lamanya. Mereka akan dengan sendirinya bertugas pada pasca pademi. Mereka akan membangun tembok-tembok, memasang atap, blandar, genting, dan cungkup puncak. Dan mereka sudah memulainya, meskipun belum dimaksudkan untuk Islam.
Kemudian kaum muslimin Indonesia, ummat Islam negeri maritim, negeri kepulauan dan hutan, negeri hijau dan keindahan —akan bertugas se¬sudahnya. Orang Islam Indonesia akan menjadi seruman penghias, mengecat, mengukir, mbraeni, mamayu hayuning rumah kebangkitan peradaban Islam.
Lihatlah budaya Lebaran kita. Pandanglah mobilisasi Idul Fitri kita. Saksikanlah kita menghiasi penemuan ruhani dan rumbai-rumbai jasmani. Tataplah jutaan orang mengalir, memenuhi kendaraan antar kota, berduyun-duyun mendatangi kembali sumber sejarahnya.
Orang mudik itu melaksanakan teologi ilaihi raji’un. Kembali ke Allah, melalui asal keluarga dan washilah kesejarahan lainnya.
Orang mudik itu mengayubagya sumber hidupnya. Mendatangi kembali sangkan hidupnya yang sekaligus merupakan paran hidupnya. Kampung halaman, keluarga, bapak ibu, kakek nenek, kesadaran rahim ibu, dan kelahiran mereka di dunia sampai pada akhirnya sesudah proses mudik geneologis-historis ini, ruhani mereka meneruskan perjalanan itu ke mudik teologis. Yakni, kesadaran dan keridhaan bahwa kita semua ini berasal dari Allah dan sedang menempuh perjalanan kembali kepada Allah juga, karena tidak ada tempat lain untuk kembali.
Mestinya, dengan Idul Fitri, dengan mudik segala arti —kita bisa mulai menakar, mempertim¬bangkan dan menentukan setiap langkah kita besok sesudah Hari Raya —menjadi langkah karena Allah, langkah milik Allah, langkah untuk Allah, bahkan langkah Allah itu sendiri.
(Emha Ainun Nadjib/Puasa Itu Puasa/Progress/ PmbNetDok)

Min Haitsu L Yahtasib

Terkadang Tuhan meletakkan rahmat-Nya di tempat-tempat yang sama sekali tidak menarik bagi manusia. Terkadang Tuhan menyembunyikan anugerah-Nya di balik momentum yang tak terduga oleh siapa pun. Terkadang Tuhan melakukan penyelamatan, memberikan rizki, serta menjanjikan rahasia-rahasia, di belakang suatu kejadian yang seakan-akan bernama musibah atau kecelakaan.

Beberapa hari saya di Jakarta, saya menjumpai berbagai kenyataan dan gejala di mana Tuhan “menyembunyikan barang berharga di tempat yang sepele dan tidak kentara”.

Saya didatangkan ke berbagai tempat untuk dijadikan “keranjang sampah’’ bagi uneg-uneg, keluhan, protes, tetapi juga semangat perjuangan. Sejumlah direktur perusahaan, pengusaha, dan tokoh-tokoh profesional yang hidupnya selama itu dikategorikan jauh dari wilayah-wilayah keagamaan, spiritual, atau moral sosial, berpidato panjang di depan saya, mengucapkan berbagai gagasan yang sebenarnya sangat tepat untuk diucapkan dalam khotbah Jum’at.

Saya bertemu dengan ghirrah agama di tengah pasar kapitalisme. Saya bertemu dengan kerinduan yang menggebu-gebu kepada Tuhan dan nurani kemanusiaan di tengah suasana-suasana yang selama ini kita asumsikan terdiri atas nafsu, kebinatangan, dan keserakahan. Saya berjumpa dengan siratan ayat-ayat Allah di tengah atmosfer kehidupan kota metropolitan yang selama ini kita sepakati sebagai dunia yang hanya berisi materialisme, takhayul konsumsi, hedonisme, dan kemubadziran.

Min haitsu la yahtasib. Jatuh dan bangkitnya nilai, gelap dan terangnya keadaan, jauh dan dekatnya para hamba kepada Allah, naik turunnya kemesraan dengan Sang Pencipta, berlangsung tidak pada ruang dan waktu yang bisa kita perhitungkan. Selalu saja Allah menginvestasikan sesuatu yang tak pernah diduga-duga oleh siapa pun. Innaka la tahdi man ahbabta, wa-la-kinnallaha yahdi man-yasya’. Sesungguhnya engkau tak akan pernah sanggup memberi petunjuk kepada siapa yang kau kehendaki untuk mendapatkan petunjuk, melainkan Allah yang Maha Sanggup menghidayahi siapapun saja yang dikehendaki- Nya.

Saya mencoba menarik garis dari snapshot keadaan yang sekilas itu kepada sejumlah titik. Pertama, kalau kaum muslimin berbicara tentang kebangkitan Islam, asosiasi utama yang muncul di benak mereka adalah semaraknya tempat-tempat ibadah, membengkaknya komunitas-komunitas religius, meningkatnya akses orang Islam terhadap struktur sejarah, dan sebagainya.

Dengan kata lain, kebangkitan Islam dibayangkan terutama bermula dari kantong-kantong kultur agama. Yang ingin saya catat di situ adalah kenyataan yang berbeda: justru dari tengah dunia yang penuh nafsu, kerakusan, dan kebinatangan lahir tetesan-tetesan uluhiyah. Dari sub-kultur metropolitan, muncul kelahiran baru kesadaran beragama. Dari lingkungan-lingkung an yang selama ini kita ketahui hanya berisi keduniaan, ternyata nongol kerinduan keakhiratan yang lebih mendalam dan lebih dahsyat dibanding yang bisa dirasakan di masjid-masjid.

Intensitas kerinduan keakhiratan dari daerah “rawan akhlaq”, baik kultural maupun struktural, itu terjadi justru karena cahaya itu memiliki sifat lebih ekstrem terhadap kegelapan dibanding terhadap ruang yang tak begitu gelap. Kalau Anda melakukan ma-lima dalam waktu lama, kemudian Anda tiba pada kondisi taubah nashuha, maka tangisnya akan lebih mendalam dibanding tangis orang-orang yang tak begitu punya dosa.

Mengapa kesadaran keagamaan yang lahir dari wilayah-wilayah macam ini saya katakan di atas sangat bagus jika diucapkan misalnya sebagai khotbah Jum’at? Karena, keinsafan keilahian itu mereka temukan dari pengalaman-pengalam an kongkret.

Orang-orang semacam ini adalah para pekerja sejarah yang nyata. Mereka adalah pejalan-pejalan struktural, pelaku-pelaku mekanisme kenyataan, yang mengerti persis apa isi dunia, sehingga juga lebih memiliki pemikiran yang strategis dan mendasar jika harus menterjemahkan konversi keagamaannya itu ke dalam aktualisasi realistik.

Sejumlah pemikiran dan program ekstra-bisnis yang para tokoh sudah dan akan lakukan terutama di bidang perekonomian dan pendidikan saya bayangkan sebagai sesuatu yang selama ini seharusnya menjadi program Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Bukankah institusi-institusi keagamaan kita selama itu relatif steril dari sangat banyak permasalahan kongkret ummat dan rakyat Indonesia? Bukankah organisasi-organisa si Islam yang besar dan kecil selama ini tidak cukup serius merelevansikan dirinya kepada tema-tema realistik seperti perintisan kekuatan perekonomian struktural ummat, pengolahan aset-aset ummat Islam untuk “berperang” di tengah pergulatan sejarah yang kongkret? Sungguh, kekuatan agama, kekuatan Tuhan, Kekuatan kebenaran dan keadilan, tidak terutama terletak pada lembaga-lembaga keagamaan yang selama ini kita anggap paling menyangga amanat-amanat tersebut. Kebangkitan kekuatan itu bisa justru terletak di wilayah-wilayah yang kita anggap “musuh agama”. Bahkan, tokoh-tokoh Islam bisa jadi bukanlah mereka-mereka yang selama ini kita anggap sebagai tokoh-tokoh Islam.[]
(Emha Ainun Nadjib/"Puasa Itu Puasa"/PmBNetDok)

Hancurkan Kebinatanganku

Pada setiap raka'at sembahyang yang tanpa duduk tahiyat, Anda memerlukan tahap transisi ruku' dari qiyam menuju posisi sujud. Tapi kemudian dari posisi sujud ke qiyam, Anda melakukannya langsung tanpa ruku'.

Ini acuan pertama.

Acuan kedua adalah pertemuan Anda dalam shalat dengan beberapa karakter atau sifat Allah swt. Ini berdasarkan kalimat-kalimat yang Anda ucapkan selama melakukan shalat.

Pertama, tentu saja Allah yang akbar. Lantas ia bagai rabbun. Selanjutnya, rahmân dan rahîm. Kemudian hakekat kedudukannya sebagai mâlik. Dan akhirnya Allah yang `adhîm dan a`lâ.

***

Kedudukan Allah sebagai akbar atau Yang Maha Lebih besar (Ia senantiasa terasa lebih besar, dinamika, tak terhingga, seiring dengan pemuaian kesadaran dan penemuan kita)—kita ucapkan untuk mengawali shalat serta untuk menandai pergantian tahap ke tahap berikutnya dalam shalat.

Artinya, setiap langkah kesadaran dan laku kita letakkan di dalam penghayatan tentang ketidakterhinggaan kebesaran-Nya, melainkan mengasah kita melalui fungsi-Nya sebagai rabbun.

Sebagai Yang maha Mengasuh, Ia bersifat penuh kasih dan penuh sayang, Rahmân dan Rahîm. Penuh cinta dalam konteks hubungan individual Ia dengan Anda, maupun dalam hubungan yang lebih `heterogen' antara ia dengan komprehensi kebersamaan kemanusiaan dan alam semesta.

***

Tapi jangan lupa Ia adalah Raja Diraja, Ia Mâlik, hakim agung di hari perhitungan. Ia sekaligus Maha Legislatif, Maha Eksekutif dan Maha Yudikatif.

Dan memang hanya Ia yang berhak penuh merangkum seluruh kehidupan itu hanya dengan diri-Nya yang sendiri, tanpa kita khawatirkan terjadi ketidakadilan dan ketidakjujuran—yang pada budaya kekuasaan antara manusia dua faktor itu membuat mereka menciptakan perimbangan sistem trias politica.

Kemudian karakter dan kedudukan-Nya sebagai `Adhîm dan A`lâ, Yang Maha besar (horisontal) dan Maha tinggi (vertikal).

***

Yang ingin saya kemukakan kepada Anda adalah bahwa kita menyadari-Nya sebagai A`lâ, Yang Maha Tinggi itu tatkala dalam shalat kita berposisi dan bersikap sebagai binatang. Artinya, ketika kita menyadari kebinatangan kita, yakni dalam keadaan bersujud: badan kita menelungkup bak binatang berkaki empat.

Ketika kita beroperasi setengah binatang, waktu ruku' bagaikan monyet yang seolah berdiri penuh seperti manusia namun tangannya berposisi sekaligus sebagai kaki—yang kita sadari adalah Allah sebagai `Adhîm.

Dan ketika kita berdiri (qiyâm), Allah yang kita hadapi adalah Allah Rahmân, Rahîm, dan Mâlik. Binatang yang ruku' dan sujud' tidak memiliki tradisi intelek dan kesadaran ontologis, sehingga tidak terlibat dalam urusan dengan mâliki yaumiddîn. Raja Hakim hari perhitungan. Kadal dan monyet, termasuk juga virus HIV, tidak diadili, tidak masuk sorga atau neraka.

Ketika kita menjadi binatang atau menyadari potensi kebinatangan diri saat sujud dan ruku', kedudukan subyek kita waktu itu adalah aku. Maka kita ucapkan subhâna rabbiya...., bukan subhâna rabbinâ....

Subyek `aku', dengan aksentuasi egoisme, individualisme, egosentrisme, dst. lebih dekat ke kebintangan, dan itu yang harus kita sujudkan kehadapan Allah swt.

Adapun ketika kita berdiri `qiyâm', kita menjadi manusia kembali. Dan subyek kita ketika itu bukan lagi menjadi `aku' melainkan `kami'. Artinya, tanda-tanda eksistensi kemanusiaan adalah pada kadar sosialitasnya, kebersamaannya, integritas kiri-kanannya. Kalau binatang, secara naluriyah ia bermasyarakat, tapi oleh Allah tidak dituntut atau ditagih tanggung jawab kemasyarakatannya. Tuntutan dan tagihan itulah yang membedakan antara binatang dan manusia, itu pulalah yang menghinakan manusia, atau justru memuliakannya.

***

Mungkin itulah sebabnya maka sesudah kita ber-takbiratul ikhram dan berdiri `sebagai manusia', Allah menyuruh kita untuk terlebih dahulu menyadari potensi kebinatangan kita dalam sujud, melalui transisi ruku'. Nanti sesudah sujudnya penuh, silakan langsung berdiri kembali sebagai manusia.

Nanti menjelang Pemilu, pesta demokrasi yang urusannya bergelimang kekuatan dan kekuasaan di antara sesama manusia—ada baiknya semua pihak memperbanyak sujud. Agar supaya kebinatangan diminimalisir.

Dan semoga jangan banyak-banyak yang bersikap sebagaimana iblis, yang menolak bersujud, karena merasa lebih tinggi, lebih benar, lebih takabur.

Ah, nanti panjang sekali kalau saya teruskan.... []
(Emha Ainun Nadjib/"Keranjang Sampah"/1999/ PmBNetDok)
Kalau engkau sopir taksi, angguna, atau angkota lainnya, atau barangkali engkau tukang becak dan pada menit dan jam tertentu siang itu engkau melintas di jalan tertentu lantas pada detik tertentu muncul seseorang dari gang kampung dan melambaikan tangan memanggil kendaraanmu, aku bertanya: siapakah yang mengatur pertemuan kalian pada detik itu?

Seandainya kendaraanmu itu melintas beberapa detik lebih cepat, atau orang dari gang itu nongol lebih lambat beberapa detik, sehingga yang ia panggil adalah taksi berikutnya yang lewat, aku bertanya: siapakah yang mengatur adegan itu, dan apa makna pengaturan itu?

Atau dalam situasi dan kejadian-kejadian lain dalam hidupmu, tentu sering engkau mengalami pertemuan atau kemelesetan pertemuan antara “kebutuhan” dan “pemenuhan”. Biasanya engkau mengatakan, bahwa peristiwa semacam itu bernama kebetulan.

Akan tetapi dalam bahasa dan budaya komunikasi kita, “kebetulan” itu dipahami sebagai sesuatu yang tidak disengaja. Istilah Inggrisnya accidently terjadi karena suatu “kecelakaan”.

Aku ingin mengatakan kepadamu bahwa kejadian semacam itu benar tidak sengaja. Artinya, engkau tidak bisa menyengajainya, tetapi Allahlah yang sengaja menciptakannya.
***

Terkadang Allah itulah yang bernama kebenaran, atau al-haq sebagaimana seluruh proses, sistem dan irama penciptaan alam semesta dan kehidupan ummat manusia ini adalah disengaja oleh Allah. Saham kesengajaan Allah itu ada yang seratus persen, ada yang kurang dari itu, karena sisanya dimandatkan untuk menjadi kewenangan khalifah-Nya yang bernama manusia. Benda alam ini dengan seluruh sistemnya disengaja seratus persen oleh pola penciptaanNya. Tapi bahwa kemudian terjadi ketidak-seimbangan ekologis, terjadi kebakaran di hutan, banjir karena ketidaktertataan pembangunan, pelubangan ozon, udan salah mongso, dan lain sebagainya itu tanda bahwa Allah berbagi kepada manusia, memberi mandat kepadanya untuk mengerjakan sesuatu, tapi diperintahkan agar disesuaikan dengan kehendak-Nya.
Sama dengan rambut lurusmu itu, hidung mancungmu itu, kokoh tanganmu itu, disengaja seratus persen oleh Allah. Tapi, Ia memberimu persentase pinjaman (haq) juga kepadamu, dan engkau pergi ke salon mengkritingkan rambutmu, engkau ke toko emas memasang anting-anting di hidungmu, serta engkau ikut fitnees untuk lebih mengokohkan badanmu.

Sekarang engkau kembali ke taksi. Hitunglah sesekali berapa persentase kesengajaan Allah atas kejadian-kejadian yang engkau alami, dan berapa persentase yang engkau upayakan sendiri. Mungkin pada jam tertentu engkau meluncurkan taksimu ke depan stasiun atau ke tempat-tempat tertentu yang engkau perhitungkan akan banyak pe-numpang. Dan itulah yang namanya ikhtiar, kreativitas, budaya dan sejarah. Tapi tetaplah jangan sampai engkau mengabaikan bahwa di sisi semua sepak terjang sejarahmu sesungguhnya peran kesengajaan Allah atas nasibmu tetap sangat tinggi.

Dan bagaimana Allah menyengajakan model nasib atasmu, bergantung pada dua hal. Pertama, pada hak mutlak Allah untuk menentukan apa saja. Kedua, pada kualitas dan moral pergaulanmu sendiri terhadap Allah.
***

Terkadang engkau tidak memperhitungkan bahwa Allah berperan atas nasibmu, dan peranNya itu amat dilatarbelakangi oleh sifat kasih sayang. Tapi engkau lupa atau tidak yakin, sehingga diam-diam engkau berpendapat bahwa hanya engkau sendirian yang bisa menolong nasibmu. Maka engkau berupaya dengan segala cara: menyerobot sana-sini, mencurangi teman, ngentol penumpang dan lain sebagainya. Kalau engkau bersedia niteni, meneliti, dan mengingat-ingat apa peran kesengajaan Allah atas hidupmu, engkau akan menemukan berbagai “kebetulan” yang nanti harus engkau pahami sebagai “kebenaran”.

Kalau hatimu berzikir dan mengonsentrasikan diri pada fungsi kesengajaan Allah yang penuh kasih sayang atas naik turunnya nasibmu, engkau InsyaAllah dibimbing untuk senantiasa berada di dalam atau dekat kasih sayang-Nya itu. Pikiranmu akan dituntun oleh-Nya untuk memasuki ide-ide atau gagasan dalam mengendalikan setir mobilmu yang sesuai dengan kasih sayang-Nya. Kakimu, tanganmu, alam pikiran, dan perasaanmu insya-Allah akan senantiasa dipanggil oleh-Nya ke dalam cinta-Nya.

Dengan demikian, engkau tak perlu menyerobot kasih sayang Allah yang di anugerahkan kepada teman atau pesaingmu. Karena, di samping kasih sayang-Nya juga tersedia buatmu, juga karena kalau engkau mencuri rahmat yang diterima oleh saudaramu, maka nanti engkau harus membayarnya. Mungkin keharusan membayar itu membuat kasih sayang Allah urung menaburi hidupmu.[]

(Emha Ainun Nadjib/Puasa Itu Puasa/Progress/ PmBNetDok)

Mudik, Thawaf dan Ilaihi Raji’un

Sejak sekitar sepuluh tahun yang lalu orang berbicara tentang kebangkitan Islam atau Islamic revival. Hal itu biasanya dihubungkan dengan arus pembusukan ke-budayaan manusia modern. Komunisme hancur, kapital-isme akan menjadi “Buta Cakil” yang akan mbrodhol ususnya oleh kerisnya sendiri. Peradaban abad ke-20 yang sekularistik akan dituntut oleh nurani ummat manusia kenapa tak bisa memproduk fasilitas-faslitas hidup dan metoda sejarah yang bisa membahagiakan manusia.

Di ujung semua gejala itu akan berlaku sunnatullah. Di mana gejala proses respiritualisasi akan berlangsung. Masyarakat modern sekuler akan kembali kepada agama. Nurani zaman merindukan kembali ayat-ayat Allah. Keangkuhan peradaban modern akan mengalami konversi dan titik balik ke nilai-nilai transendental.

Akan tetapi permasalahannya, dari mana arus balik itu akan bermula? Apa dan siapa yang memeloporinya? Di wilayah mana dari bumi itu ia akan berlangsung? Kelompok masyarakat mana yang akan menandai awal kebangkitan itu?

Dewasa ini air kawah tampaknya sudah mengalir keluar dari rahim sejarah. Persoalannya, bayi macam apa yang akan lahir?
***
Apakah Khomeinisme dan Revolusi Iran yang tetap gegap gempita itu boleh dianggap sebagai pelopor dari kebangkitan Islam? Suasana Revolusioner Islam pemerintah dan masyarakat Iran sampai hari, yang selalu meneriakkan USA, Go to Hell! —Apakah bisa diindikasikan sebagai “air kawah” itu? Di mana Amerika Serikat diletakkan sebagai simbol utama dari kesesatan peradaban sekuler?

Mungkin bisa, mungkin tidak.

Mungkin sejarah Iran pasca-Syah Iran memang bertugas menancapkan fundamen bangunan Baitullah peradaban Islam di zaman Modern. Bukankah mereka memang secara tak sengaja disebut sebagai kaum fundamentalis? Iran meletakkan dasar, cor batu-batu, baja pilar-pilar, tulang belulang bangunan yang kini belum bisa kita bayangkan akan bagaimana.

Ketika rumah masih berada pada tahap pademi dan pilar, ia memang belum indah, masih terkesan serba batu, serta keras, serba tidak nyaman. Orang Iran berkorban dicitrai seperti itu oleh proses sejarah pembangkitan Islam di muka bumi modern.

Nanti masyarakat ilmuwan di belahan bumi Utara —terutama di Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea— akan terpergok oleh kebenaran Islam melalui eksplorasi tuntas ilmu pengetahuan dan teknologi mereka. Mereka akan terhenyak dan terbangun dari tidur teologi berabad-abad lamanya. Mereka akan dengan sendirinya bertugas pada pasca pademi. Mereka akan membangun tembok-tembok, memasang atap, blandar, genting, dan cungkup puncak. Dan mereka sudah memulainya, meskipun belum dimaksudkan untuk Islam.

Kemudian kaum muslimin Indonesia, ummat Islam negeri maritim, negeri kepulauan dan hutan, negeri hijau dan keindahan —akan bertugas se¬sudahnya. Orang Islam Indonesia akan menjadi seruman penghias, mengecat, mengukir, mbraeni, mamayu hayuning rumah kebangkitan peradaban Islam.

Lihatlah budaya Lebaran kita. Pandanglah mobilisasi Idul Fitri kita. Saksikanlah kita menghiasi penemuan ruhani dan rumbai-rumbai jasmani. Tataplah jutaan orang mengalir, memenuhi kendaraan antar kota, berduyun-duyun mendatangi kembali sumber sejarahnya.

Orang mudik itu melaksanakan teologi ilaihi raji’un. Kembali ke Allah, melalui asal keluarga dan washilah kesejarahan lainnya.

Orang mudik itu mengayubagya sumber hidupnya. Mendatangi kembali sangkan hidupnya yang sekaligus merupakan paran hidupnya. Kampung halaman, keluarga, bapak ibu, kakek nenek, kesadaran rahim ibu, dan kelahiran mereka di dunia sampai pada akhirnya sesudah proses mudik geneologis-historis ini, ruhani mereka meneruskan perjalanan itu ke mudik teologis. Yakni, kesadaran dan keridhaan bahwa kita semua ini berasal dari Allah dan sedang menempuh perjalanan kembali kepada Allah juga, karena tidak ada tempat lain untuk kembali.

Mestinya, dengan Idul Fitri, dengan mudik segala arti —kita bisa mulai menakar, mempertim¬bangkan dan menentukan setiap langkah kita besok sesudah Hari Raya —menjadi langkah karena Allah, langkah milik Allah, langkah untuk Allah, bahkan langkah Allah itu sendiri.

PmBnetDoc