Maha Satpam

Tanya jawab pengajian itu menjadi hangat. Tak disangka tak dinyana anak muda berpeci yang lehernya berkalung sajadah itu meningkatkan nada suaranya.

“saya sangat kecewa dan memprotes keras mengapa Bapak bersikap sedemikian lunak kepada orang-orang yang datang kekuburan untuk minta angka-angka buntutan!” ia menuding-nuding. “Itu jelas syirik. Saya sebagai warga organisasi Islam yang sejak kelahirannya memang bermaksud memberantas segala takhayul, bid’ah, khurafat, dan syirik, akan terus memberantas gejala-gejala semacam itu dalam masayarakat kita sampai titik darah penghabisan!”


Bapak ustadz terkesima.
Isi pemikiran pemuda itu aneh, meskipun bukan tidak menggelisahkan. Namun “semangat juangnya”-nya ini! Apakah ia baru saja membaca sajak Cjairil Anwar “AKU” atau “Persetujuan dengan Bung Karno” sehingga voltase darahnya meninggi? Tapi marilah bersyukur. Ini yang namanya sukses pewarisan nilai dan semangat perjuangan dari kader yang satu ke kader generasi yang lain. Prosporsi di mana dan untuk soal macam apa semangat itu mesti diterapkan, adalah soal kedua.


“Adik manis, maafkan kalau saya memang khilaf,” bapak ustadz berkata dengan lembut,” Tetapi sesungguhnya aspirasi kita tidak terlampau berbeda. Saya juga bermaksud tidak menularkan kebiasaan orang-orang tua untuk bersifat terlalu dingin terhadap gejala-gejala itu. Tetapi nyuwun sewu, saya melihat ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pernyataan anda tadi ibarat memasukkan sambal ke dalam es dawet…”


Para jamaah tertawa, meskipun pasti mereka belum mengerti maksudnya.


“Syirik ya syirik, tapi orang masuk kuburan kan macam-macam maunya. Ada yang mau mencuri tengkorak, ada yang sembunyi dari tagihan rentenir, ada yang sekedar menyepi karena pusing bertengkar terus dengan istrinya yang selalu meminta barang-barang seperti yang dibeli tetangganya. Terus terang saya juga sering masuk kuburan dan nyelempit di balik gerumbul-gerumbul karena sangat jenuh oleh acara macam yang kita selenggarakan malam ini, jenuh diundang kesana kemari untuk sesuatu yang sebenarnya tidak jelas. Jenuh meladeni pertanyaan-pertanyaan yang khas kaum muslimin abad ke-20 dari soal ‘apa hukum merangkul rambut’ sampai memandang wanita itu zina atau tidak’, atau jenuh oleh pikiran-pikiran puber yang akrobat pikiran intelektualnya over dosis. Kejenuhan itu sendiri sunnatullah atau hukum alam. Tuhan mengijinkan kita untuk merasa jenuh pada saat tertentu sebagai bagian dari peran kemanusiaan. Apakah buang jenuh di kuburan itu syirik?”


“Bukan itu maksud saya!” teriak sang pemuda, “Saya berbicara tentang orang yang meminta-minta di kuburan.”


“Baiklah,” lanjut bapak ustadz. “Syirik itu letaknya di hati dan sikap jiwa, tidak dikuburan atau di kantor pemerintah. Sebaiknya kita jangan gemampang, jangan terlalu memudahkan persoalan atau gampang menuduh orang. Saya terharu anda bersedia memerangi syirik sampai titik darah penghabisan, namun saya juga prihatin menyaksikan Anda bersikap begitu sombong kepada orang miskin…”


“Apa maksud bapak?” sang pemuda memotong.


“Bikinlah proposal untuk minta biaya meneliti siapa saja sebenarnya yang suka mendatangi kuburan, terutama yang menyangkut tingkat perekonomian mereka. Kita memang tahu para pejabat suka berdukun ria dan para pengusaha mendaki Gunung Kawi, tapi siapakah umumnya yang berurusan dengan kuburan untuk menggali harapan penghidupan? Saya berani jamin kepada Anda bahwa 90% pelanggan kuburan adalah orang-orang yang kehidupan ekonominya kepepet. Orang seperti anda ini saya perhitungkan tidak memerlukan kuburan karena wesel dari orang tua cukup lancar. Disamping itu syukurilah posisi sosial anda. Anda termasuk diantara sedikit anak-anak rakyat yang beruntung, memiliki peluang ekonomi untuk bisa bersekolah sampai perguruan tinggi. Karena anda sekolah sampai perguruan tinggi maka anda menjadi pandai dan mampu mengelola kehidupan secara lebih rasional. Harapan anda untuk menjadi pelanggan kuburan termasuk amat kecil. Anda akan menang bersaing meniti karier melawan para tamatan sekolah menegah, para DO atau apalagi para non-sekolah. Kalaupun kemudian menjumpai persoalan-persoalan umum yang menyangkut ketidakadilan ekonomi, misalnya, Anda bukan merencanakan berkunjung ke makam Sunan Beginjil, melainkan bikin kelompok diskusi yang memperbincangkan kepincangan ekonomi dan kemapanan kekuasaan politik…”


Seperti air bah kata-kata bapak ustadz kita meluncur.


“Kalaupun anda ogah terlibat bekerja dalam jajaran birokarsi kekuasaan atau tempat-tempat lain yang anda perhitungkan secara sistematik mendukung kemapanan itu, anda masih mempunyai peluang non-kuburan, misalnya, bikin badan swadaya masyarakat. Langkah pertama dari gerakan ketidaktergantungan itu ialah merintis ketergantungan terhadap dana luar negeri dimana anda bisa numpang makan, minum, merokok, dan memberi celana baru. Langkah kedua, menigkatkan kreativitas proposal agar secara pasti anda bisa memperoleh nafkah dari gerakan itu. Dan langkah ketiga, menyusun kecanggihan lembaga anda sedemikian rupa sehingga anda sungguh-sungguh bisa mengakumulasikan kekayaan, bikin rumah, beli mobil, dan memapankan deposito. Juklak saya untuk itu adalah umumkan ide-ide sosialisme perekonomian sebagai komoditi kapitalisme perusahaan swadaya masyarakat Anda. Kemiskinan adalah ekspor non-migas yang subur bagi kelompok pembebas rakyat di mana anda bisa bergabung…”


Bapak ustadz kita sudah tidak tebendung lagi.


“Dengan demikian anda bisa selamat dari budaya kuburan sampai akhir hayat. Hal-hal semacam itu tidak bisa dilakukan oleh orang-orang miskin yang hendak Anda berantas syiriknya itu. Mereka tak mampu membuat proposal, takut kepada Camat dan Babinsa, karena bagi mereka lebih mengerikan dibandingkan dengan hantu-hantu kuburan. Satu-stunya kesanggupan revolisioner yang masih tersisa pada orang kecil yang melarat adalah minta harapan secara gratis ke kuburan.”


Suasana pengajian menjadi semakin senyap.


“Bapak ini ngomong apa?” potong sang pemuda lagi.


“Kepada siapa dan apa sajakah Allah Cemburu pada zaman ini? Siapakah atau apakah yang di tuhankan orang di negeri Anda ini? Apa yang didambakanorang melebihi Tuhan? Apa yang sedemikian menghimpit memojokkan menindih orang seolah-olah berkekuatan melebihi Tuhan? Apa dan siapa yang mendorong orang tunduk, patuh, dan loyal sepenuh hidup kepadanya melebihi Tuhan? Apa yang memenuhi pikiran orang, memenuhi perasaan dan impian orang lebih dari keindahan /tuhan? Lihatlah itu, pikiran sosial Anda, pikiran politik Anda, pikiran ekonomi anda, perhitungan struktural Anda…”


Suara bapak ustadz kita menjadi agak gemetar meskipun nadanya meninggi.

“Beranikah Anda berangkat memberantas syirik-syirik besar yang dilatari oleh kekuasaan, senjata, dan fasilitas? Beranikah anda berperang melawan diri Anda sendiri untuk mengurangi sikap gemagah kepada orang-orang lemah? Sanggupkah Anda mengalahkan obsesi kehidupan Anda sendiri untuk merintis peperangan-peperangan yang sedikit punya harga diri?”


Napas mulai agak-agak ersenggal-senggal.


“Anda begitu bangga menjadi satpam kehidupan orang lain. Bahkan anda tampak bermaksud menjadi maha satpam yang memberantas syirik sampai titik darah yang terakhir. Tetapi anda menodongkan laras senjata Anda ke tubuh semut-semut yang terancam oleh badai api sehingga menyingkir ke kuburan kecil. Itu karena mata pengetahuan anda tak pernah di cuci kecuali oleh ulama-ulama yang memonopoli kompetisi pemikiran keagamaan, padahal mereka begitu pemalas mencuci mata umatnya, kecuali untuk soal-soal yang menyangkut kepentingan posisi mereka. Anda sudah tahu wajib, sunnat, halal, makruh, dan haram, tetapi itu hanya diterapkan untuk hal-hal yang wantah. Anda hanya bertanya orang sudah sholat Isya atau belum, orang ke kuburan atau tidak, si keponakan sudah pakai jilbab atau belum. Anda tidak merintis penerapan kualifikasi hukum lima itu untuk persoalan-persoalan yang lebih luas. Anda tidak pernah mempersoalkan bagaimana sejarah politik perekonomian dari tikar plastik yang setiap hari anda pakai sembahyang. Anda marah kenapa Cristine hakim tidak pakai jilbab padahal ia muslimah, tetapi telinga anda tuli terhadap kasus penggusuran, terhadap proses pembodohan lewat jaringan depolitiasi, terhadap proses pemiskinan, terhdap ketidakadilan sosial yang luas. Anda tidak belajar tahu apa saja soal-soal yang kualitasnya wajib dalam perhitungan makro struktural. Anda hanya sibuk mengincar orang masuk kuburan. Anda merepotkan diri mengurusi sunnah-sunnah dan tidak acuh terhdap kasus-kasus yang wajib respon sifatnya…”


“Pak! Mengapa jadi sejauh itu…?” sahut sang pemuda.


“Dengar dulu, anak muda!” tegang wajah sang bapak. “Itu yang menyebabkan anda tidak memiliki perhitungan yang menyeluruh untuk akhirnya menemukan hakekat kasus syirik yang sebenarnya. Anda hanya sanggup melihat seorang mencuri. Anda hanya tahu bahwa mencuri itu hukumnya haram, padahal melalui relativitas konstek-konteks, pencuri itu bisa halal sifatnya…”


“Apa-apaan ini, Pak?” sang pemuda nyelonong lagi.


“Kita ini dibesarkan dalam kekalahan-kekalahan. Dalam rasa ketidakmungkinan menang, subyektivitas kita tumbuh subur. Kalau kita becermin dan menjumpai wajah kekalahan di biliknya, kita ciptakan kemudian cermin yang mampu menyodorkan halusinasi kemenangan kita. Kalau kita tak punya biaya naik haji, naiklah kita ke puncak Gunung Kuripan dan merasa telah naik haji. Kalau tak sanggup perang melawan kekuatan manusia, kita cari tuyul untuk kita taklukan. Kalau tak ada juga peluang untuk tampil di panggung sejarah, kita berduyun-duyunlah dipanggung narkotik kebudayaan di bidang ndangdut, diskotik si Boy, atau mengangkat seorang pencoleng menjadi dermawan sehingga hati tehibur. Kalau risi berpegang pada pilar-pilar kufur dan tak sanggup bersandar pada udara, maka melianglah kita pada lubang sempit pengetahuan keagamaan kita yang mualaf dan nadir. Kita tak kuat naik gunung, kita susun gunung-gunung dalam tempurung. Naluri kekuasaan kita tumpahkan dalam tempurung. Kita menjadi “negara” dalam pesta syariat dangkal umat di sekeliling kita. Kita mengawasi muda-mudi yang berboncengan motor, kita menelepon pasien-pasien kita di pagi buta apakah ia sudah sholat shubuh, kita sholat jamaah sambil melirik apakah orang di samping kita sudah cukup kusuk sholatnya. Kita menjadi puritan, menjadi “manusia amat lokal”. Kita mendirikan kekuasaan baru dimana kita adalah penguasanya…”


Sang pemuda tak bisa tahan lagi, “Maaf, Pak! Berilah saya sedikit peluang…”


Tapi air bah terus tumpah ke bumi. ***

dari Buku "Slilit Sang Kiai", Grafiti, 1992

Sexy Body Istri Tetangga


Sexy Body Istri Tetangga

Dengan Sapi pun, Kita Bekerja Sama

Dalam forum maiyahan, tempat pemeluk berbagai agama berkumpul melingkar, sering saya bertanya kepada forum:”Apakah anda punya tetangga?”
Biasanya dijawab: “Tentu punya”
“Punya istri enggak tetangga Anda?”
“Ya, punya dong”
“Pernah lihat kaki istri tetangga Anda itu?”
“Secara khusus,tak pernah melihat”
“Jari-jari kakinya lima atau tujuh?”
“Tidak pernah memperhatikan”
“Body-nya sexy enggak?”
Hadirin biasanya tertawa. Dan saya lanjutkan tanpa menunggu jawaban mereka:”Sexy atau tidak bukan urusan kita,kan?Tidak usah kita perhatikan, tak usah kita amati, tak usah kita dialogkan, diskusikan atau perdebatkan. Biarin saja”.

Keyakinan keagamaan orang lain itu ya ibarat istri orang lain. Ndak usah diomong-omongkan, ndak usah dipersoalkan benar salahnya, mana yang lebih unggul atau apapun. Tentu, masing-masing suami punya penilaian bahwa istrinya begini begitu dibanding istri tetangganya, tapi cukuplah disimpan didalam hati.

Bagi orang non-Islam, agama Islam itu salah. Dan itulah sebabnya ia menjadi orang non-Islam. Kalau dia beranggapan atau meyakini bahwa Islam itu benar ngapain dia jadi non-Islam? Demikian juga, bagi orang Islam, agama lain itu salah, justru berdasar itulah maka ia menjadi orang Islam.

Tapi, sebagaimana istri tetangga, itu disimpan saja didalam hati, jangan diungkapkan, diperbandingkan, atau dijadikan bahan seminar atau pertengkaran.
Biarlah setiap orang memilih istri sendiri-sendiri, dan jagalah kemerdekaan masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai istrinya masing-masing, tak usah rewel bahwa istri kita lebih mancung hidungnya karena Bapaknya dulu sunatnya pakai calak dan tidak pakai dokter, umpamanya.

Dengan kata yang lebih jelas, teologi agama-agama tak usah dipertengkarkan, biarkan masing-masing pada keyakinannya. Sementara itu orang muslim yang mau melahirkan padahal motornya gembos, silakan pinjam motor tetangganya yang beragama Katolik untuk mengantar istrinya ke rumah sakit. Atau, Pak Pastor yang sebelah sana karena baju misanya kehujanan, apdahal waktunya mendesak, ia boleh pinjam baju koko tetangganya uang NU maupun yang Muhamadiyah.

Atau ada irang Hindu kerjasama bikin warung soto dengan tetangga Budha, kemudian bareng-bareng bawa colt bak ke pasar dengan tetangga Protestan untuk kulakan bahan-bahan jualannya.

Tetangga-tetangga berbagai pemeluk agama, warga berbagai parpol, golongan, aliran, kelompok, atau apapun, silakan bekerja sama dibidang usaha perekonomian, sosial, kebudayaan, sambil saling melindungi koridor teologi masing-masing. Bisa memperbaiki pagar bersama-sama, bisa gugur gungung membersihi kampung, bisa pergi mancing bareng bisa main gaple dan remi bersama.

Tidak ada masalah lurahnya Muslim, cariknya Katolik, kamituwonya Hindu, kebayannya Gatholoco, atau apapun. Jangankan kerja sama dengan sesama manusia, sedangkan dengan kerbau dan sapipun kita bekerja sama nyingkal dan nggaru sawah. Itulah lingkaran tulus hati dangan hati. Itulah maiyah. (emha ainun nadjib)

Ya Allah, Lindungi aku dari kursi...

Seorang teman dekat saya sedang pusing kepala dan stress cukup serius karena didaulat oleh rakyat agar ia menjadi Lurah.

Selama satu dua tahun belakangan ini kalau keluarga atau orang sedusunnya omong tentang kemungkinan ia jadi Lurah, ia menjawab ringan-ringan saja. Ia memberi alasan sekenanya saja untuk menolak. Karena toh, pikirnya, himbauan itu hanya romantisme kaum minoritas di desanya yang masih sempat menggagas bahwa sebuah desa sebaiknya dipimpin bukan oleh seorang penjahat.

Diam-diam sebenarnya ia tidak percaya diri. Mana mungkin manusia semacam dia dimpi-impikan orang untuk menjadi pemimpin. Juga siapa bilang menempuh proses untuk menjadi Lurah itu gampang. Harus ada modal besar dan menyiapkan sejumlah upeti feodalisme modern dalam konstelasinya. Toh rakyat pada umumnya, menurut pandangan dia, juga sudah bersikap apatis. Siapapun yang jadi lurah, mau kadal, mau kodok, mau pencopet, biar saja.

Disamping itu tak bisa dia membayangkan dirinya menjadi lurah. Bagaimana nanti. Harus pakai sepatu dan baju safari yang begituan itu kalau rapat di tempat Pak camat. Sedangkan dia mandi saja ogah-ogahan. Lantas nanti harus patuh pada konspirasi di tingkat itu: mungkin sesama Lurah, Camat, orang Koramil, Polsek dan Babinsa. Konspirasi yang selalu sudah otomatis mentradisikan kolusi-kolusi perdagangan yang modal utamanya adalah kekuasaan.

Teman saya ini bukan tidak mau kaya. Tapi untuk meladeni impian hidup ya tidak harus segitu-gitunya. Masak mau hidup enak saja pakai repot-repot memperbodoh rakyat, melakukan kejahatan-kejahatan kolektif-birokratis, menyakiti orang kecil, melanggar moral dan falsafah Negara dan lain sebagainya. Apa kalau sudah begitu lantas dia bisa makan lebih dari satu setengah piring, dan nasi rasanya menjadi seperti makanan kayak apa gitu.
Hidup Cuma sekali kok begitu repotnya. Manusia memang aneh-aneh dan kurang logis. Bilangnya beragama, tapi sibuknya membangun dunia. Membangun itu ya Akhirat dong. Dunia ini hanya perangkatnya, hanya fasilitas produksinya, tapi bukan produknya. Wong oleh Tuhan mau dikasih hidup abadi, malah memilih beberapa puluh tahun. Itu kan Cuma kalahmin bil-bashar, hanya sekedipan mata.

Dikasih kebesaran, malah ambil kekerdilan. Dikasih kelanggengan, malah bernafsu sama kesementaraan. Lha wong sorga itu indah dan mewahnya bukan main, kok malah gugup membangun dunia dalam gagasan bahwa dunia ini final dari segala-galanya. Yang dibangun juga yang enggak-enggak: sukses, frustasi,karya bermutu tinggi, nama baik, popularitas, kepahlawanan dalam sejarah. Emangnya buku sejarah akan berapa usianya. Manusia memang “GR”. Selalu merasa mampu berbuat yang hebat-hebat, seolah-olah kuku di jari-jarinya ia sendiri yang menumbuhkannya.

Yang lain malah membangun gedung-gedung dan pabrik yang merusak bumi, menyesakkan napas, memperbanyak virus, memperkembangkan penyakit, menumpuk kebingungan-kebingungan, hanya supaya bisa menjual obat anti bingung dan pil untuk melarikan diri dari kebingungan.

Sampai-sampai sekarang muncul sejenis serangga di ujung timur Jawa Timur, yang merupakan “produk kosmo genekologis” sampingan dari pengolahan nuklir. Serangga kecil itu, bagaimana virus macam HIV sebelumnya, tak akan bisa diberantas oleh teknologi kedokteran modern, dan yang dari Jatim itu akan bisa menghancurkan dunia. Ada terapi penumpasannya: ialah sesuatu yang akan anda tertawakan dan tidak dipercaya oleh kebanyakan orang, terutama yang hidup di kota-kota besar.

Alhasil manusia ini pinternya menyelenggarakan kerusakan, perusakan tatanan, penyakit, kebingungan, dan akhirnya benar-benar kerepotan sendiri.
Padahal hidup kan sederhana banget. Kebutuhan makan ya cuma segitu. Pakaian juga tak bisa rangkap-rangkap, kecuali orang sinting. Tempat tidur kan bisa apa saja, karena toh kalau sudah sangat mengantuk, tak bisa lagi dibedakan mana kasur mana tikar. Juga rumah. Kenapa harus mewah. Apa rumah bisa dikulum kayak permen. Anak-anak kita, kalau kita pandang wajah mereka, biar kita miskin atau kaya, ya tetap menyenangkan juga. Istri juga begitu. Biar cuma satu, tapi rasanya tetap enak juga. Cari yang lain-lain, ternyata ya mirip-mirip saja.

Lha kalau teman saya itu nanti benar-benar jadi Lurah, apa dia bisa hidup dengan pandangan tetap seperti itu. Kalau tak ikut menipu rakyat, apa nanti tidak dikucilkan. Kalau ikut, dia tidak canggih dalam hal kejahatan. Dia termasuk bodoh, tidak seperti kebanyakan penguasa. Teman saya itu dulu punya teman yang jadi Lurah, ikut kolusi sana-sini, lantas ketahuan-dan dia yang “disembelih” untuk jadi kambing hitam. Dia dipecat. Sekarang dia bertransmigrasi ke Kalimantan, membina hidup baru.

Jadi, bagi teman saya ini, tak ada hal yang lebih mengerikan di muka bumi ini dibanding menjadi Lurah. Tentu saja menjadi Menteri jauh lebih mengerikan, karena kekuasaan seorang Menteri bisa dipakai untuk ngakali banyak hal, mensiasati masalah-masalah, memanipulasikan kasus-kasus, mengarsiteki kejahatan sehingga menjadi berbentuk kebenaran dan dilihat orang banyak seolah-olah sungguh-sungguh kebenaran.

Kalau perlu carilah dukun, minta mantra-mantra bagaimana cara supaya tidak jadi Menteri. Soalnya kita ini orang lemah. Kita tahu diri. Seandainya kita ini manusia ma’shum (terjaga oleh Malaikat), kukuh dalam akhlakul karimah, tegak idealismenya, zuhud, dan Istiqomah-bolehlah kita sok-sok berambisi menjadi Menteri. Seandainya syahadat kita ini serius, shalat kita ini bener-bener, haji kita bukan karena mematuhi domino petunjuk dari yang teratas-ayolah “berusaha” menjadi menteri.

Tapi kalu tidak, meskipun wajah kita alim, sudah haji beberapa kali, nama kita pakai unsur Allah atau agama- misalnya Saifullah atau Brakoddin – tak usahlah terlalu mantap jadi Menteri. Jadi Menteri bukan prestasi, melainkan beban. Menjadi pejabat bukan reputasi melainkan amanat. Menjadi penguasa tidak otomatis merupakan rizki hidup, kecuali kalau kita tidak percaya kepada Tuhan dan Akhirat, lantas semua hasil kejahatan hidup kita bisa bawa ke kehidupan abadi yang kita selenggarakan sendiri dan kita bebaskan dari kekuasaan Tuhan.
Mokal-mokal memang kita semua ini. Kursi kok dicari-cari. Jabatan kok dimpi-impikan. Kedudukan kok dianggap lambang prestasi. Padahal sudah jelas uang sepuluh ribu rupiah saja punya kesanggupan untuk memperbudak manusia. Mana ada manusia yang mampu memperbudak uang?

Sedangkan dengan kursi, apalagi yang tinggi banget seperti yang diduduki oleh seseorang sehingga ia disebut Menteri - Anda bisa memproduksi keuntungan dan uang sangat banyak. Kursi memang jenis makhluk langka yang ajaib. Wong terbuat dari kayu, atau paling jauh logam – kok bisa beranak uang banyak. Lha wong kambing saja, yang merupakan makhluk bernyawa, hanya mampu beranak kambing. Jin pun hanya mampu beranak jin. Lha kok kursi yang tak bernyawa bisa memperanakkan macam-macam.

Makanya kalau jiwa belum muthmainnah dan mental belum zuhud, jangan bergaul dekat-dekat dengan kursi.

Kursi itu lebih sakti dibanding raja, ulama, jago kebatinan, intelektual, budayawan atau apapun. Raja yang aslinya sebagai manusia sangat baik dan santun, karena kelamaan bergaul dengan kursi bisa berubah menjadi monster. Ulama yang mahfudh, yang terpelihara jiwa dan perilakunya, gara-gara terpikat oleh gaya magis kursi, mripatnya bisa buta sebelah, sehingga ayat-ayat Tuhan yang bisa dilihatnya juga hanya bagian-bagian yang kondusif terhadap kepentingan kursi. Jago kebatinan kalau banyak-banyak bau kursi bisa menjelma jadi orang yang sibuk membatini kejagoan saja. Intelektual lebih asyik lagi: karena terkena sawab (tak pakai Mahasin) kursi, kalkulator di otaknya menjadi error atau mengalami “illegal operation” kalau pakai istilah Bill Gate – sehingga 4 x 4 = nunggu petunjuk dulu. Kalau budayawan, kayak saya ini, jelas: puncak prestasinya adalah menjadi badut. Bukankah saya ini badut?

Kursi benar-benar membahayakan dibanding Dinosaurus. Sampai-sampai Nabi Sulaiman saja terpaksa mendapat giliran terakhir antrean masuk sorga diantara para Rasul lainnya gara-gara direpoti oleh urusan kursi kerajaannya.

Maka seorang penulis dizaman Nabi Sulaiman a.s, menulis artikel disebuah media yang cukup popular ketika itu:
‘Kalau kursi yang kau duduki itu kau anggap sebagai kekuasaan, dan bukan tugas pelayanan kerumahtanggaan bersama, maka tunggu saatnya kau akan dikalahkan oleh si kursi. Kalau kursi itu kau anggap sebagai keunggulan, dan bukan sebagai tanggung jawab yang dititipkan, maka kepribadianmu akan digerogoti oleh si kursi sampai keropos. Kalau kursi itu kau perlakukan sebagai kekuatan, dan bukan amanat yang dibebankan, maka nanti kau akan ambruk dicampakkan oleh si kursi.”

“Kursi jangan dibangga-banggakan, karena ia lebih merupakan ancaman terhadap kelemahanmu. Kursi melahirkan getaran yang bisa merusak syaraf matamu sehingga makin lama semakin tidak terfokus melihat setiap permasalahan. Kursi diam-diam melontarkan frekuensi yang bisa meretakkan gendang telingamu sehingga kau semakin sukar mendengarkan. Kursi membuatmu jadi pikun dan pelupa….”

Macam-macam lagi yang ditulis dalam artikel itu. Teman saya, yang nasibnya terancam karena didaulat jadi Lurah itu, minta fotokopinya.
“Apa salahnya sih jadi Lurah?” saya coba menumbuhkan keyakinannya, “Kan itu bagus. Bisa menjadi medan perjuanganmu untuk mewujudkan cintamu kepada rakyat kecil!”
“Ya”, jawabnya, “Tapi saya ini lemah….”
Dia bercerita bahwa semula alasan dia menolak adalah bahwa dia tak mau bersaing untuk menjadi Lurah, karena pada dasarnya dia memang tidak berani dan tidak suka menjadi Lurah. Dipikirnya ini adalah alasan yang sangat kuat untuk menghindarkan ancaman nasib itu. Tapi ternyata semua penduduk kompak untuk menetapkan dirinya menjadi satu-satunya calon tunggal lurah. Mampus dia..
Emha Ainun Najib : Titik Nadir Demokrasi (Kesunyian Manusia Dalam Negara) penerbit : Zaituna 1996

Syair Tukang bakso

Sebuah pengajian yang amat khusyuk di sebuah masjid kaum terpelajar, malam itu, mendadak terganggu oleh suara dari seorang tukang bakso yang membunyikan piring dengan sendoknya.

Pak Ustad sedang menerangkan makna khauf, tapi bunyi ting-ting-ting-ting yang berulang-ulang itu sungguh mengganggu konsentrasi anak-anak muda calon ulil albab yang pikirannya sedang bekerja keras.

"Apakah ia berpikir bahwa kita berkumpul di masjid ini untuk berpesta bakso!" gerutu seseorang.

"Bukan sekali dua kali ini dia mengacau!" tambah lainnya, dan disambung -- "Ya, ya, betul!"

"Jangan marah ikhwan," seseorang berusaha meredakan kegelisahan, "ia sekedar mencari makan ..."

"Ia tak punya imajinasi terhadap apa yang kita lakukan!" potong seseorang yang lain lagi.

"Jangan-jangan sengaja ia berbuat begitu! Jangan-jangan ia minan-nashara!" sebuah suara keras.

Tapi sebelum takmir masjid bertindak sesuatu, terdengar suara Pak Ustad juga mengeras: "Khauf, rasa takut, ada beribu-ribu maknanya. Manusia belum akan mencapai khauf ilallah selama ia masih takut kepada hal-hal kecil dalam hidupnya. Allah itu Mahabesar, maka barangsiapa takut hanya kepada-Nya, yang lain-lain menjadi kecil adanya."

"Tak usah menghitung dulu ketakutan terhadap kekuasaan sebuah rezim atau peluru militerisme politik. Cobalah berhitung dulu dengan tukang bakso. Beranikah Anda semua, kaum terpelajar yang tinggi derajatnya di mata masyarakat, beranikah Anda menjadi tukang bakso? Anda tidak takut menjadi sarjana, memperoleh pekerjaan dengan gaji besar, memasuki rumah tangga dengan rumah dan mobil yang bergengsi: tapi tidak takutkah Anda untuk menjadi tukang bakso? Yakni kalau pada suatu saat kelak pada Anda tak ada jalan lain dalam hidup ini kecuali menjadi tukang bakso? Cobalah wawancarai hati Anda sekarang ini, takutkah atau tidak?"

"Ingatlah bahwa tak seorang tukang bakso pun pernah takut menjadi tukang bakso. Apakah Anda merasa lebih pemberani dibanding tukang bakso? Karena pasti para tukang bakso memiliki keberanian juga untuk menjadi sarjana dan orang besar seperti Anda semua."

Suasana menjadi senyap. Suara ting-ting-ting-ting dari jalan di sisi halaman masjid menusuk-nusuk hati para peserta pengajian.

"Kita memerlukan baca istighfar lebih dari seribu kali dalam sehari," Pak Ustad melanjutkan, "karena kita masih tergolong orang-orang yang ditawan oleh rasa takut terhadap apa yang kita anggap derajat rendah, takut tak memperoleh pekerjaan di sebuah kantor, takut miskin, takut tak punya jabatan, takut tak bisa menghibur istri dan mertua, dan kelak takut dipecat, takut tak naik pangkat... masya Allah, sungguh kita masih termasuk golongan orang-orang yang belum sanggup menomorsatukan Allah!"

--------------

Diambil dari kumpulan prosa dan puisi oleh Emha Ainun Nadjib, 1987: Seribu
Masjid Satu Jumlahnya, tahajjud cinta seorang hamba, Penerbit Mizan, Bandung.

Kyai kocar kacir

Seorang berbadan hitam dan berkumis dari Bangkalan, madura menemui saya diJakarta, hanya untuk membawa satu pertanyaan. Betapa tak ekonomisnya dan tak produktifnya orang ini, jika dinilai dari ideologi ekonomi modern. Berapa biaya yang ia keluarkan untuk mengongkosi pertanyaan yang sangat tak luar biasa itu :” Apa sesungguhnya arti beribadah kepada Tuhan ? “

Asyik juga kalau dianggap kiai, sehingga dianggap bisa menjawab segala pertanyaan-meskipun sekaligus sangat membahayakan. Untunglah “kiai” itu bukan term dari islam. Kiai juga tak ada hubungannya dengan keunggulan, kesalehan, atau kepandaian. Pendekar yang kalau berkelahi kalah melulu disebut Kiai Kocar-Kacir. Raja yang sangat banyak berbuat tak adil namun selalu beruntung dengan kekuasaannya disebut Kiai Bejo. Kerbau kraton Jawa yang berkeliaran semaunya tanpa ada orang berani mengusirnya bernama Kiai Slamet.

Jadi kalau saya dikiaikan terkadang malah timbul rasa tersinggung. Emang-saya kerbau. Sementara kalau saya dianggap bisa menjawab segala pertanyaannya itu karena Allah SWT. Jadi, celakalah kalau Anda di-Allah-kan orang lain. Lambat atau cepat, anda akan hangus luluh lantak bak laron yang diterbangkan ke permukaan matahari.

Seandainya anda pernah terpaksa menuhankan seseorang, sehingga ia Anda nomor satukan, anda bela sampai titik darah penghabisan dengan segala jenis penjilatan dan keindahan retorika – misalnya penguasa yang seluruh hidup anda tergantung kepadanya-—kalau bisa jangan didengar orang lain. Pernah ada seorang raja pulang dari kunjungan ke luar negeri. Sang wakil raja menyongsong dibandara. Dan takala ia beradu muka, sang wakil raja sepontan menyeru, “ Ya Allah! “ , saking terharunya atas pertemuan itu. Maka sang rajapun memeluknya dan berbisik ke telinganya, “ Jangan keras –keras kalau memanggil nama saya “.

Kalau ada seseorang yang seolah - olah bisa menjawab semua pertanyaan, sehingga menjadi muara orang banyak menumpahkan problem, percayalah, apa yang keluar dari mulut orang itu sama sekali bukan miliknya, melainkan milik Allah.

Manusia menggali jawaban dari pertanyaan yang dihadirkan Allah kepadanya melalui manusia lain. Seorang bengkel motor belajar dari setiap kerusakan motor. Universitas manusia adalah problemnya. Disisi itu semua ada rumus: “ Kalau Tuhan mengamanatkan problem, Ia menyertakan fasilitas atau rezikinya, berupa apapun. Sebaliknya kalau Allah memberikan gagasan, Ia juga menyertakan masalah yang harus dicari sehingga jawaban gagasan itu bisa diterapkan. Atau kalau Tuhan memberikan fasilitas atau rezeki, tentu ada amanat di sisi-Nya yang harus kita selesaikan “.

Problem yang menimpa kita itupun ada takaran dan substansinya. Terkadang ia merupakan ujian atau cobaan. Di kondisi tertentu ia merupakan peringatan. Di saat lain ia merukan peringatan . di saat lain ia hukuman .Kriisis moneter dan segala macam krisis lainnya yang akut dan yng melatarbelakangi mesti kita hitung dengan seksama, apakah merupakan ujian, peringatan ataukah hukumanTuhan. Atau mungkin krisis ekonomi merupakan hukuman Allah.atau mungkin krisis ekonomo sesudah krisis politik dan kebudayaan yang tak kita atasi sebagaimana seharusnya. Mengingat itu semua , tiba tiba saya menyadari bahwa pertanyaan bersahaja yang diangkut sahabat kita jauh jauh dari Bangkalan itu ternyata tak mudah dijawab. Apa arti sebenarnya dari beribadah kepada Tuhan.

Karena saya kawatir dianggap terlalu bodoh maka saya menjawab sekenanya: “Beribadah kepada Allah adalah mempelajari isihati-Nya. Meraba bagaimana perasaan-Nya kepada kita. Menyelami apa kehendaknya atas kehidupan kita dan kita siap menaati-Nya. Bagaimana memproses pemahaman dan perenungan terus menerus tentang apa iradah-Nya tentang semua realitas penciptaan ini sejak big bang sampai krisis di Indonesia dan kita lakukan gerakan hanya yang sudah terlebih dahulu dinegosiasikan dengan amr-Nya.kalau tidak nanti kita jadi kiai dan santri kocar-kacir “

Jawaban sekenanya itu justru tidak mengamankan saya, melainkan memprosokan saya kejurang pertanyaan berikutnya yang lebih dalam dan remang-remang:

“Bagaimana cara meraba isi hati allah? Lewat tarikat atau intelektualitas postmo.
Bagaimana menyimpulkan apa yang dikehendaki-Nya? Kenapa kita harus tahu itu semua? Apakah manusia tak diberi otoritas untuk memiliki political will sendiri dan melaksanakan sesuai dengan aspirasinya? Bagaimana kita akan memilih warung dan makanan pada suatu siang, bagaimana kita akan mantap menyelenggarakan demontrasi, menggagas reformasi, bagaimana kita akan pernah mampu sekali saja berbuat agak mendasar dan total untuk mengubah Indonesia – kalau prosedurnya begitu abstrak ?”

Terpaksa saya mencoba mempertahankan pendapat saya.” Siapa bilang itu abstrak? Meraba kehendak Tuhan jangan diseram-seramkan dengan terminologi dan citra tentang tarikat dan kebatinan. Memahami kemauan Tuhan itu masalah biasa, tidak luks. Ondedilnya yang kita butuhkan cuma dua, pertama hati yang tulus, yang bersyukur dan berposisi mohon petunjuk kedua pakai akal”.

Hati yang tulus itu bersahaja juga : kosongkan ia dari keributan kemauan kita sendiri, nafsu, emosi, pelampiasan dan obsesi kita sendiri. Pakai akal itu pun sederhana: kalau mau menanam sesuatu, harus jelas kebunnya,kondisi tanahnya, irigasinya kesiapan kita untuk menyiraminya, dan memelihara sampai berbuah.Kalau main bola kesebelasannya mesti kompak, tak ada egoisme gawangnya harus disepakati, pola kerja samanya harus sudah disusun. Jadi bukan hanya sekedar memain-mainkan bola. Bukan sekedar membuang –buang biji tanaaman tanpa kita siapkan proses pertumbuhannya, itu namanya pelampiasan. Kehendak Tuhan menjauhkan kita dari ideologi pelampiasan, dan mendekatkan kita kepada pengendalian dan ketetapan.

Sumber: EMHA, kyai kocar kacir ,zaituna

hidup itu dihati


Manusia hidup di hatinya. Manusia bertempat tinggal di hatinya. Hati adalah sebuah jalan panjang. Manusia menyusurinya, menuju kepuasannya, kesejahteraannya, kebahagiannya, Tuhannya.

Berbagai makhluk menghalanginya, terkadang, atau sering kali, dirinya sendirilah yang merintanginya.

Hati adalah pusat kehendak yang membuat manusia tertawa dan menangis, sedih dan gembira, suka ria atau berputus asa.

Manusia mengembara di hatinya: pikiran membantunya, maka pikiran harus bekerja sekeras-kerasnya, pikiran bisa perlu ber-revolusi, pikiran tak boleh tidur, pikiran harus lebih cepat dari waktu dan cahaya.
Hati tidak selalu mengerti persis apa yang dikehendakinya. Ia hanya bisa berkiblat ke Tuhannya untuk memperoleh kejernihan dan ketepatan itu, tapi pikiran tidak bisa menerangkan apa-apa tentang Tuhannya. Pikiran mengabdi kepada hatinya, hati selalu bertanya kepada Tuhannya. Di hadapan Tuhan, pikiran adalah kegelapan dan kebodohan.

Jika pikiran ingin mencapai Tuhannya, ia menyesuaikan diri dengan hukum dimensi hatinya. Jika tidak, pikiran akan menawarkan kerusakan, keterjebakan dan bumerang.

Jika pikiran hanya mampu mempersembahkan benda-benda kepada hatinya, maka hati akan tercampak ke ruang hampa, dan pikiran sendiri memperlebar jarak dari Tuhannya.

Badan akan lebur ke tanah. Pikiran akan lebur di ruang dan waktu. Hati akan lebur di Tuhan.
Jika derajat hati diturunkan ke tanah, jika tingkat pikiran bersibuk dengan bongkahan logam, maka dalam keniscayaan lebur ke Tuhan - mereka akan hanya siap menjadi onggokan kayu, yang tidak terbakar oleh cinta kasih Tuhan, melainkan oleh api.

Jika hati hanya berpedoman kepada badan, maka ia hanya ketakutan oleh batas usia, oleh mati, oleh kemelaratan, oleh ketidakpunyaan. Jika pikiran hanya mengurusi badan, jika pikiran tak kenal ujung ruang maka ia akan rakus kepada alam, akan membusung dengan keangkuhan, kemudian kaget dan kecewa dengan segala yang dihasilkan.
***