Hujan Al Mukarram

Terkadang saya ingin mengajak teman-teman untuk sedikit gila, dengan tujuan supaya agak sedikit waras.

Misalnya, kalau lagi jalan-jalan mendadak hujan. Mbok tak usah berteduh. Ya terus saja berjalan. Biasa,berjalan biasa.

Hujan itu baik. Apalagi hujan musim sekarang ini: sekian lama kita menanti-nantinya seperti menunggu kedatangn seorang kekasih yang berbulan-bulan jadi TKW di Arab Saudi.

Hujan kita dambakan, bahkan pakai sembahyang istisqa' segala. Sekarang, kalau hujan datang, kita berhamburan lari ke trotoar toko.

Padahal kita ini makhluk waterproof. Tahan hujan, seperti plastik. Kehujanan bukan hanya tak apa-apa, malahan segar. Sejak kecil hobi kita berhujan-hujan. Sebenarnya yang kita lindungi dari hujan itu pakaian kita, atau make-up di wajah kita. Entah kenapa pakaian kik tidak bela-bela. Kita sampai membeli mantel segala.

Kalau hujan tiba-tiba menghambur, kitapun lari berhamburan seolah pasukan Israel datang.

Sedangkan tubuh kita ini senang kepada hujan. Di samping tak membuat kita mati, sakit lepra atau bisul, hujan itu rakhmat Tuhan, meskipun terkadang menyimpan bebeberapa rahasia. Tak bisa kita bayangkan kehidupan tanpa hujan.

Seperti juga tak bisa bayangkan kehidupan tanpa matahari. Kalau terjadi banjir, mungkin karena manusia tolol mengelola tatanan alam, mungkin karena konstruksi kota kita kacau, atau mungkin karena maksud-maksud tertentu dari Tuhan untuk menyindir manusia yang pintar berkhianat.

Jadi ayolah jalan-jalan dalam hujan.

O, takut buku-buku Anda jadi basah? KTP?
Surat-surat ini-itu? Itu bisa dibungkus plastik rapat-rapat, seperti pakaian nanti bisa dicuci.

Atau takut masuk angin? Kok bisa kehujanan saja lantas masuk angin? Salahnya badan tak dilatih. Badan dimanja seperti bayi. Beli pakaian terus menerus hanya untuk mengurangi daya tahan tubuh dari angin dan hujan. Padahal angin dan hujan itu sahabat darah daging kita. Sama-sama anggota alam.

Ayolah, jalan-jalan dalam hujan. Kalau pergi buka baju, kecuali wanita. Wanita musti menempuh 'metode' lain untuk memelihara kekuatan tubuhnya.

Tapi, astaga, saya lupa. Ada yang namanya kebudayaan!

Kebudayaan ialah memakai sandal, celana dan baju. Kebudayaan tinggi ialah memakai sepatu, jas dan dasi. Astaga, anehnya. Kalau keluar rumah tanpa alas kaki, itu tak berbudaya. Kalau diatas celana tak ada kaos, masuk supermarket, itu primitif. Kalau hanya pakai celana pendek saja, pergi ke perjamuan, itu saraf. Aneh sekali nilai-nilai kita ini!

Tapi percayalah, kalau di tengah hujan, kita berjalan terus saja dan biasa saja, masih dianggap belum terlalu gila.

Hujan al mukarram kekasihku! Kau kurindukan dan diperlukan untuuk beberapa kepentingan. Tapi. kami, manusia, sesungguhnya sudah tak lagi akrab denganmu secara pribadi.

(Emha Ainun Nadjib, "Secangkir Kopi Jon Pakir",cet vi, 1996, PmBNetDok)

Manusia Fiqh, Manusia Akhlaq, Manusia Taqwa

Kalau Anda sedang jalan, tiba-tiba menjumpai ada seorang anak tergeletak di pinggir jalan karena kelaparan, maka Anda tidak dipersalahkan oleh fiqh serta tidak ada pasal hukum formal negara manapun yang membuat Anda ditangkap polisi. Tapi menurut pandangan akhlaq Agama atau moralitas sosial, Anda sungguh salah. Apalagi menurut mata pandang taqwa: Anda mungkin dikategorikan bukan manusia.

Syarat rukun shalat adalah niat, terus takbiratul ihram dst…tidak ada syarat harus khusyuk, sehingga kalau tidak khusyuk maka shalat Anda tidak sah. Jadi fiqh dan hukum formal itu lapisan paling dasar dari moral dan yang paling elementer dari taqwa. Saya tidak mengatakan fiqh dan hukum formal itu rendah atau tidak penting, melainkan ada yang lebih tinggi, yakni moralitas dan taqwa. Kalau shalat tidak khusyuk, atau setidaknya kurang berusaha untuk khusyuk, berarti tidak sungguh-sungguh menjalankan moral atau akhlak kepada Tuhan. Taqwanya diragukan.

Kalau dalam perspektif zakat misalnya, ukuran fiqih sangat teknis. Misalnya 2,5 persen. Asal sudah bayar segitu, tak dosa. Tapi tak dosa tidak sama dengan sudah berakhlak. Tak berdosa tidak berarti sudah lulus moral. Peta sosial-ekonomi suatu lingkaran masyarakat memiliki ukuran-ukuran tertentu sehingga kelayakan zakat menurut akhlaq berbeda-beda. Mungkin baru pantas kalau kita kasih 10%, atau bahkan 50%. Sedangkan terminologi taqwa menganjurkan kepantasan dan logika bahwa yang disebut sudah bertaqwa adalah kalau sudah ikhlas menyerahkan atau menyampaikan kembali segala yang kita miliki kepada yang punya, melalui siapa saja yang Ia kehendaki. Segala sesuatu yang kita punya itu bukan hanya deposito, rumah dan harta benda, tapi juga seluruh diri kita ini. Kalau sudah pada taraf itu, maka kita mengalami Islam: pemasrahan total diri kita kepada Yang Memiliki, Yang Menciptakan dan kemudian yang selama ini meminjamkan kepada kita.

Jadi sebenarnya taqwa itu sangat sederhana dan kelihatan mudah: yakni mengembalikan barang yang kita pinjam kepada pemiliknya. Apa anehnya dan apa susahnya? Kita mungkin keberatan kalau memberikan barang yang kita miliki kepada pihak lain. Tapi ini kan sekedar menyampaikan barang pinjaman kepada yang punya, tidak ada rugi dan keberatan apa-apa.

Kebanyakan kita cenderung lebih suka menggunakan sudut pandang pertama, yakni fiqh, atau hukum formal. Tapi ternyata tidak juga. Ada maling yang mencuri di suatu kampung, kontan saja masyarakat langsung memberikan hukuman—entah dengan menggebuki beramai-ramai atau menyeret ke kantor polisi setelah kondisi si maling tadi babak belur, atau membakarnya hidup-hidup. Ada dua orang lelaki kehilangan motor. Investigasi. Datang ke desa yang diduga tempat pencurinya. Sampai di sana malah diteriaki sebagai maling. Orang mengeroyoknya dan dibakar hidup-hidup.

Akhlak sosial yang dewasa melakukan etika untuk menanyakan terlebih dahulu, apa latar belakang dia mencuri. Mungkin karena isterinya akan melahirkan, sementara dia tidak mempunyai uang sama sekali. Karena kepepet dan berjumpa momentum, maka terpaksa dia mencuri. Penanganan terhadap si maling tadi, jika dilihat dari sudut pandang yang kedua ini, si maling tetap dihukum atau diserahkan ke polisi, tetapi masyarakat berusaha untuk memenuhi kebutuhannya yang mendesak itu.

Bila masyarakat kita sudah berada dalam lingkaran taqwa, sebenarnya tidak ada kesulitan dalam mengatasi persoalan-persoalan seperti di atas. Jika si A membutuhkan pertolongan atau bantuan karena isterinya akan melahirkan, maka si A menyampaikan kebutuhannya tadi—secara syariat kepada si B, namun hakikatnya memohon kepada Allah—sehingga Allah akan memudahkan kepada si A dengan lantaran rizkinya dari si B. Maka, secara batin (hakikat), si A berterima kasih kepada Allah, sedangkan secara lahiriyah (dhohir), dia berterima kasih kepada si B. Dari sini tampak kontinuitas antara dimensi horisontal dengan dimensi vertikal. Bukankah segenap niat dan aktivitas kita selalu berkaitan dengan dua dimensi itu?

(Kitab Ketentraman/ Republika/ PmBNetDok)

Trio Bomber, Surga atau Neraka?: Hanya Sebuah Anekdot

Trio Bomber, Surga atau Neraka?:

Hanya Sebuah Anekdot

Oleh Irwan Masduqi

Tatkala hari hisab tiba, manusia yang tak terhitung jumlahnya rela antri panjang di depan pintu surga dan neraka. Jantung mereka berdebar dan berdetak tak karuan menunggu hasil penghitungan amal. Malaikat yang sedang bertugas memanggil mereka satu persatu sambil menenteng buku catatan amal.

Dengan suara keras, malaikat memanggil nama Imam Abu Hanifah untuk dihisab. Dengan mudah Abu Hanifah lolos masuk surga karena di dunia beliau tak menyia-nyiakan “akal”-nya untuk berijtihad memahami agama Islam secara rasional. Di surga, Abu Hanifah berkumpul dengan Umar bin Khatab. Umar bin Khathab adalah kolega nabi yang sangat rasional yang mensyukuri nikmat akal dengan cara berpikir. Umar bin Khathab senantiasa memahami al-Quran dengan pendekatan kontekstual- hermeneutis.

Giliran kedua adalah Tulkiyem, pelacur Sarkem (Pasar Kembang) Yogyakarta . Tak terduga, Tulkiyem juga masuk surga. Malaikat bilang, “dia masuk surga karena dia melacur tidak hendak melawan agama dan Allah, dia melacur karena melawan nasib hidupnya demi sesuap nasi dan membelikan susu buat anaknya. Yang masuk neraka justru orang-orang kaya, penguasa, dan agamawan yang tak punya kepedulian serta kepekaan sosial. Mereka tak memberi lahan perkerjaan dan pembinaan kepada para pelacur”.

Giliran ketiga adalah si Dul, mahasiswa al-Azhar Cairo . Sungguh mengejutkan, dia masuk neraka. Sayang sekali. Malaikat berkata, “dia masuk neraka karena menipu orang tuanya. Orang tuanya susah payah menguras keringan mengumpulkan uang recehan untuk membiayai si Dul di Cairo. E…e…eeeee si Dul malah malas-malasan tak mau belajar. Dia menipu dan mendurhakai orang tuanya. Dia itu mahasiswa goblok, tak pernah membaca buku, tapi sukanya mencibir dan meremehkan teman-temannya yang mengembangkan kritisisme”.

Amrozi cs sudah tidak sabar menunggu giliran hisab. Sambil pegang-pegang jenggot, mereka kelihatan penuh optimisme bisa masuk surga. Orang-orang di sekitar mereka pun bertanya, “kenapa kalian tak takut menghadapi hisab”?

Amrozi cs menjawab, “siapa takut? kami sudah membawa tiket surga. Kalau kalian ingin beli tiket surga, bergabung saja dengan orang-orang Islam radikal. Mereka jual obralan tiket”.

Dus, giliran keempat adalah Amrozi cs. Hisab berlangsung alot. Saat itu terjadi perdebatan sengit antara Amrozi cs dengan malaikat. Malaikat bilang, “tiket surga kalian tidak ada gunanya alias muspro”. Tapi Amrozi cs memaksa dimasukkan ke surga dengan dalih telah susah payah ikut program “bombing training” guna menghancurkan tempat-tempat maksiat. Abdul Aziz alias Imam Samudra, dengan mata tajamnya, tak sungkan memelototi malaikat sembari teriak kencang Allahu Akbar. Sementara Amrozi dan Ali Gufron alias Mukhlash cengar-cengir bingung tujuh keliling mendengar kata-kata malaikat tadi sambil memutar tasbih.

Malaikat bertanya, “kenapa kalian melakukan teror”? Dengan diplomatis Amrozi cs menjawab, “kami ingin mengamalkan hadits amar ma’ruf nahi munkar bil yad. ‘Yad’ artinya adalah kekerasan dengan bom”.

Hahaha, malaikat ketawa terbahak-bahak mendengar jawaban konyol Amrozi cs. Sambil menahan ketawa, malaikat menjawab balik, “yang boleh amar ma’ruf nahi munkar dengan cara merusak fasilitas umum itu hanya pemerintah, kalau warga sipil tak boleh dengan cara itu. Heh dasar kalian sok pahlawan jadi polisi swasta!!!”.

Amrozi cs dengan nada lirih dan agak sedikit grogi bertanya, “masak sih”? Malaikat menjawab sambil senyum, “ya iyalah… masak ya iya dong. Mulan aja namanya diganti Mulan Jamilah, bukan Mulan Jamidong… duren aja dibelah, bukan dibedong”. Malaikat kemudian berargumen, “Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din pernah berkata bahwa umat Islam dalam amar ma’ruf nahi munkar tidak boleh disertai perusakan harta orang lain. Imam al-Ghazali memberi contoh yang prosedural dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar kepada para peminum khamr dan penjual MIRAS (Minuman Keras). Dalam konteks ini, khomr/MIRAS boleh ditumpahkan (iraqatul khamri), tetapi botolnya tak boleh dipecah, karena botol adalah harta halal milik penjual dan peminum. Dengan demikian, tindakan teror kalian (baca: Amrozi cs) yang destruktif dengan merusak fasilitas umum (harta orang lain) dan juga tindakan brutal FPI tidak dapat dibenarkan karena tidak sesuai prosedur. Tindakan itu justru merusak citra Islam, tahu!!!”.

Amrozi cs tetap ngotot dan ngeyel agar dimasukkan ke surga. Mereka berdalih, “pokoknya kami harus dimasukkan ke surga (yang konon banyak bidadari yang cantik itu), karena kami telah memerangi orang-orang kafir (antek Amerika dan thaghut) di Bali seperti yang diperintahkan Allah yang berbunyi faqtulu al-musyrikina kaffah…faqtulu al-musyikin haytsu wajadtumuhum/ tsaqiftumuhum ….faqtuluhum hatta latakuna fitnah (bunuhlah semua orang musyrik…di mana pun kalian berjumpa dengan mereka…bunuhlah mereka hingga tak ada fitnah)”. Amrozi cs berargumen bahwa “ayat-ayat itu menurut satu versi dalam tafsir al-Qurthubi menusakh dan mengamandemen ayat-ayat yang turun sebelumnya tentang anjuran mengampuni orang kafir dan jihad defensif terbatas dari agresi musyrikin, sehingga kesimpulan Amrozi cs jihad adalah ofensif”.

Kwakakakaka, malaikat tertawa terbahak-bahak untuk kedua kalinya mendengar jawaban Amrozi cs yang konyol itu. Karena penasaran, malaikat mendatangkan Imam al-Qurthubi untuk dimintai klarifikasi dan keterangan lebih lanjut. Malaikat bertanya, “wahai Imam al-Qurthubi benarkah dalam tafsirmu ada konsep jihad ofensif”? Imam al-Qurthubi menjawab, “dalam tafsir, saya memang mengutarakan dua pendapat; antara ‘versi tekstual pro nasikh-mansukh yang menyimpulkan jihad ofensif’ dan ‘versi kontekstual kontra nasikh-mansukh yang menyimpulkan jihad defensif’”. Coba dech malaikat Anda rujuk dalam Tafsîr al-Qurthûbi, cetakan Dar al-Sya‘bi, vol. II, h. 71, vol. I, h. 62, vol. XVII, h. 203, & vol. XIX, h. 149, vol. II, h. 347, vol. II, h. 35 & vol. V, h. 281, vol. III, h. 216, vol. II, h. 192 & 353”. “Sial, Amrozi cs berarti memilih jihad ofensif dengan mencari justifikasi dari penafsiran yang tekstual”, keluh malaikat. Malaikat memperingatkan, “penafsiran tekstual itu reduktif dan rawan menimbulkan stigma bahwa Islam adalah agama pedang, agama bom, dan agama kekerasan, seperti stigma negatif kalangan mainstream Barat. Andaikan nasikh-manskuh kalian terapkan dalam ayat-ayat jihad yang sejatinya turun secara gradual, sama saja kalian menganggap sebagian ayat al-Quran yang turun pada fase-fase awal sebagai ayat impoten dan tak punya fungsi sosial untuk konteks kekinian. Nah, para pemikir Islam yang kritis dan progresif yang berdiri di barisan antrian hanya mangguk-mangguk menyetujui statemen malaikat tadi.

Amrozi cs berapologi, “oke dech, ijtihad kami memang salah, tapi—seperti kata Rasulullah saw—kami tetap berhak mendapatkan pahala satu (man akhtha`a falahu ajrun wahidun). Malaikat menimpali, “kalian memang mendapatkan pahala satu, tapi pahala itu belum mencukupi untuk dijadikan modal masuk surga. Pahala kalian yang satu itu tak seberapa jika dibandingkan dengan dosa kalian akibat membunuh orang-orang Bali dan wisatawan legal yang telah mendapat jaminan keamanan dari negara. Ingat itu wahai teroris yang berjubah!!!. Maukah kalian aku masukkan ke neraka”?

Amrozi cs, yang kali ini diwakili oleh Ali Gufron, mengutarakan keberatan. Dengan lantang ia berkilah, “kami tidak bermaksud membunuh orang tak berdosa, kami hanya ingin memerangi kemungkaran. Selain itu, kami juga sudah dieksekusi sebagai balasan perbuatan kami, meski kami sebenarnya tak rela dengan eksekusi itu”. “Iya, tapi cara amar ma’ruf nahi munkar kalian, seperti saya katakan tadi, tidak prosedural”, tegas malaikat. Malaikat diam sejenak mempertimbangkan matang-matang. Amrozi cs pun menunggu keputusan malaikat sambil pegang-pegang jenggot lagi.

Malaikat meneruskan hisabnya, “tadi kalian bilang bahwa kalian tidak rela dengan eksekusi itu, itu tandanya kalian tidak ikhlas menerima hukum qishash yang sudah disyariatkan Allah. Dengan demikian dosa kalian belum dihapus dan diampuni. Sudahlah kalian aku masukkan ke neraka saja ya”?

Imam Samudra keberatan, “please malaikat, kami sudah dieksekusi, masak mau dihukum lagi dengan diceburkan ke neraka”?. Malaikat geleng-geleng kepala, “kalian memang bandel, sudah aku katakan kalau eksekusi itu belum bisa menghapus dosa kalian, karena kalian tidak ikhlas menerima hukuman itu”. Imam Samudra berkilah lagi, “buktinya apa kalau kami tidak ikhlas”?

Malaikat dengan mudah menemukan bukti di google.com (http://news. okezone.com/ index.php/ ReadStory/ 2008/11/05/ 1/161021/ polri-bantah- tangkap-pembuat- situs-wasiat- amrozi-cs) yang memuat wasiat profokatif Amrozi cs bahwa “dalam surat wasiat tersebut, mereka menyerukan agar para pendukung memerangi dan membunuh pihak terkait eksekusi mati, seperti Presiden SBY, Wapres Jusuf Kalla, Menkum HAM Andi Mattalata, Jaksa Agung Hendarman Supandji, Jampidum AH Ritonga, dan Ketum PBNU Hasyim Muzadi”. Malaikat dengan tegas menvonis, “Jadi kalian harus aku masukkan ke neraka dengan dalih berlapis: 1) tindakan teror bom bali; 2) tidak ikhlas menerima hukuman eksekusi; 3) menyebarkan wasiat yang profokatif dan berisi pemberontakan terhadap pemerintah”.

Amrozi cs masih berkilah, “pengeboman dan wasiat itu tidak bermaksud untuk macam-macam, semua itu kami lakukan hanya demi tujuan memerangi maksiat dan jihad”. Malaikat pun menjawab dengan analogis-argumentat if, “oke jika demikian alasan kalian, maka kalian akan aku masukkan ke dalam ‘tong’ kemudian aku tendang ‘tong’ itu agar menggelinding masuk ke jurang neraka. Aku tak bermaksud memasukkan kalian ke neraka, tapi aku hanya bertujuan memasukkan ‘tong’ ke neraka sebagai tambahan bahan bakar neraka”. Amrozi pun akhirnya tak berdaya dan menyesali perbuatannya di dunia.

Di Zawiyah Sebuah Masjid

Sesudah shalat malam bersama, beberapa santri yang besok pagi diperkenankan pulang kembali ke tengah masyarakatnya, dikumpulkan oleh Pak Kiai di
zawiyyah sebuah masjid.

Seperti biasanya, Pak Kiai bukannya hendak memberi bekal terakhir, melainkan menyodorkan pertanyaan-pertanya an khusus, yang sebisa mungkin belum usah
terdengar dulu oleh para santri lain yang masih belajar di pesantren.

"Agar manusia di muka bumi ini memiliki alat dan cara untuk selamat kembali ke Tuhannya," berkata Pak Kiai kepada santri pertama, "apa yang Allah
berikan kepada manusia selain alam dan diri manusia sendiri?"

"Agama," jawab santri pertama.

"Berapa jumlahnya?"

"Satu."

"Tidak dua atau tiga?"

"Allah tak pernah menyebut agama atau nama agama selain yang satu itu, sebab memang mustahil dan mubazir bagi Allah yang tunggal untuk memberikan lebih
dari satu macam tuntunan."

**

Kepada santri kedua Pak Kiai bertanya, "Apa nama agama yang dimaksudkan oleh temanmu itu?"

"Islam."

"Sejak kapan Allah mengajarkan Islam kepada manusia?"

"Sejak Ia mengajari Adam nama benda-benda. "

"Kenapa kau katakan demikian?"

"Sebab Islam berlaku sejak awal mula sejarah manusia dituntun. Allah sangat adil. Setiap manusia yang lahir di dunia, sejak Adam hingga akhir zaman,
disediakan baginya sinar Islam."

"Kalau demikian, seorang Muslimkah Adam?"

"Benar, Kiai. Adam adalah Muslim pertama dalam sejarah umat manusia."

**

Pak Kiai beralih kepada santri ketiga. "Allah mengajari Adam nama benda-benda, " katanya, "bahasa apa yang digunakan?"

Dijawab oleh santri ketiga, "Bahasa sumber yang kemudian dikenal sebagai bahasa Al-Qur'an."

"Bagaimana membuktikan hal itu?"

"Para sejarahwan bahasa dan para ilmuwan lain harus bekerja sama untuk membuktikannya. Tapi besar kemungkinan mereka takkan punya metode ilmiah,
juga tak akan memperoleh bahan-bahan yang diperlukan. Manusia telah diseret oleh perjalanan waktu yang sampai amat jauh sehingga dalam kebanyakan hal
mereka buta sama sekali terhadap masa silam."

"Lantas bagaimana mengatasi kebuntuan itu?"

"Pertama dengan keyakinan iman. Kedua dengan kepercayaan terhadap tanda-tanda yang terdapat dalam kehendak Allah."

"Maksudmu, Nak?"

"Allah memerintahkan manusia bersembahyang dalam bahasa Al-Qur'an. Oleh karena sifat Islam adalah rahmatan lil 'alamin, berlaku universal secara
ruang maupun waktu, maka tentulah itu petunjuk bahwa bahasa yang kita gunakan untuk shalat adalah bahasa yang memang relevan terhadap seluruh
bangsa manusia. Misalnya, karena memang bahasa Al-Qur'anlah yang merupakan akar, sekaligus puncak dari semua bahasa yang ada di muka bumi."

**

"Temanmu tadi mengatakan," berkata Pak Kiai selanjutnya kepada santri keempat, "bahwa Allah hanya menurunkan satu agama. Bagaimana engkau
menjelaskan hal itu?"

"Agama Islam dihadirkan sebagaimana bayi dilahirkan," jawab santri keempat, "Tidak langsung dewasa, tua atau matang, melainkan melalui tahap-tahap atau
proses pertumbuhan. "

"Apa jawabmu terhadap pertanyaan tentang adanya berbagai agama selain Islam?"

"Itu anggapan kebudayaan atau anggapan politik bukan anggapan akidah."

"Apakah itu berarti engkau tak mengakui eksistensi agama-agama lain?"

"Aku mengakui nilai-nilai yang termuata dalam yang disebut agama-agama itu - sebelum dimanipulasikan - sebab nilai-nilai itu adalah Islam jua adanya pada
tahap tertentu, yakni sebelum disermpurnakan oleh Allah melalui Muhammad rasul pamungkasNya. Bahwa kemudian berita-berita Islam sebelum Muhammad itu
dilembagakan menjadi sesuatu yang disebut agama - dengan, ternyata, berbagai penyesuaian, penambahan atau pengurangan - sebenarnya yang terjadi adalah
pengorganisasian. Itu bukan agama Allah, melainkan rekayasa manusia."

**

Pak Kiai menatapkan matanya tajam-tajam ke wajah santri kelima sambil bertanya, "Agama apakah yang dipeluk oleh orang-orang beriman sebelum
Muhammad?"

"Islam, Kiai."

"Apa agama Ibrahim?"

"Islam."

"Apa agama Musa?"

"Islam."

"Dan agama Isa?"

"Islam."

"Sudah bernama Islamkah ketika itu?"

"Tidak mungkin, demikian kemauan Allah, ada nama atau kata selain Islam yang sanggup mewakili kandungan-kandungan nilai petunjuk Allah. Islam dan
kandungannya tak bisa dipisahkan, sebagaimana api dengan panas atau es dengan dingin. Karena ia Islam, maka demikianlah kandungan nilainya. Karena
demikian kandungan nilainya, maka Islamlah namanya. Itu berlaku baik tatkala pengetahuan manusia telah mengenal Islam atau belum."

**

"Maka apakah gerangan arti yang paling inti dari Islam?" Pak Kiai langsung menggeser pertanyaan kepada santri keenam.

"Membebaskan, " jawab santri itu.

"Pakailah kata yang lebih memuat kelembutan!"

"Menyelematkan, Kiai."

"Siapa yang menyelamatkan, siapa yang diselamatkan, serta dari apa dan menuju apa proses penyelamatan atau pembebasan itu dilakukan?"

"Allah menyelamatkan manusia, diaparati oleh para khulafa' atas bimbingan para awliya dan anbiya. Adapun sumber dan tujuannya ialah membebaskan
manusia dari kemungkinan tak selamat kembali ke Allah. Manusia berasal dari Allah dan sepenuhnya milik Allah, sehingga Islam - sistem nilai hasil karya
Allah yang dahsyat itu - dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari cengkeraman sesuatu yang bukan Allah."

"Apa sebab agama anugerah Allah itu tak bernama Salam, misalnya?"

"Salam ialah keselamatan atau kebebasan. Itu kata benda. Sesuatu yang sudah jadi dan tertentu. Sedangkan Islam itu kata kerja. Berislam ialah beramal,
berupaya, merekayasa segala sesuatu dalam kehidupan ini agar membawa manusia kepada keselamatan di sisi Allah."

**

Pak Kiai menuding santri ketujuh, "Tidakkah Islam bermakna kepasrahan?"

"Benar, Kiai," jawabnya, "Islam ialah memasrahkan diri kepada kehendak Allah. Arti memasrahkan diri kepada kehendak Allah ialah memerangi segala
kehendak yang bertentangan dengan kehendak Allah."

"Bagaimana manusia mengerti ini kehendak Allah atau bukan?"

"Dengan memedomani ayat-ayatNya, baik yang berupa kalimat-kalimat suci maupun yang terdapata dalam diri manusia, di alam semesta, maupun di setiap
gejala kehidupan dan sejarah. Oleh karena itu Islam adalah tawaran pencarian yang tak ada hentinya."

"Kenapa sangat banyak orang yang salah mengartikan makna pasrah?"

"Karena manusia cenderung malas mengembangkan pengetahuan tentang kehendak Allah. Bahkan manusia makin tidak peka terhadap tanda-tanda kehadiran Allah
di dalam kehidupan mereka. Bahkan tak sedikit di antara orang-orang yang rajin bersembahyang, sebenarnya tidak makin tinggi pengenalan mereka
terhadap kehendak Allah. Mereka makin terasing dari situasi karib dengan kemesraan Allah. Hasilnya adalah keterasingan dari diri mereka sendiri.
Tetapi alhamdulillah, situasi terasing dan buntu yang terjadi pada peradaban mutakhir manusia, justru merupakan awal dari proses masuknya umat manusia
perlahan-lahan ke dalam cahaya Islam. Sebab di dalam kegelapanlah manusia menjadi mengerti makna cahaya."

**

"Cahaya Islam. Apa itu gerangan?"

Santri ke delapan menjawab, "Pertama-tama ialah ilmu pengeahuan. Adam diajari nama benda-benda. Itulah awal mula pendidikan kecendekiaan, yang
kelak direkonstruksi oleh wahyu pertama Allah kepada Muhammad, yakni iqra'.
Itulah cahaya Islam, sebab agama itu dianugerahkan kepada makhluk tertinggi yang berpikiran dan berakal budi yang bernama manusia."

"Pemikiranmu lumayan," sahut Pak Kiai, "Cahaya Islam tentunya tak dapat dihitung jumlahnya serta tak dapat diukur keluasan dan ketinggiannya: kita
memerlukan tinta yang ditimba dari tujuh lautan lebih untuk itu. Bersediakah engkau kutanyai barang satu dua di antara kilatan-kilatan cahaya mahacahaya
itu?"

"Ya, Kiai."

"Sesudah engkau sebut Adam, apa yang kau peroleh dari Idris?"

"Dinihari rekayasa teknologi."

"Dari Nuh?"

"Keingkaran terhadap ilmu dan kewenangan Allah."

"Hud?"

"Kebangunan kembali menuju salah satu puncak peradaban dan teknologi
canggih."

"Baik. Tak akan kubawa kau berhenti di setiap terminal. Tetapi jawablah:
pada Ibrahim, terminal Islam apakah yang engkau temui?"

"Rekonstruksi tauhid, melalui metode penelitian yang lebih memeras pikiran
dan pengalaman secara lebih detil."

"Pada Ismail?"

"Pengurbanan dan keikhlasan."

"Ayyub?"

"Ketahanan dan kesabaran."

"Dawud?"

"Tangis, perjuangan dan keberanian."

"Sulaiman?"

"Ke-waskita- an, kemenangan terhadap kemegahan benda, kesetiaan ekologis dan keadilan."

"Sekarang sebutkan yang engkau peroleh dari Musa!"

"Keteguhan, ketegasan haq, ilmu perjuangan politik, tapi juga kedunguan dalam kepandaian."

"Dari Zakaria?"

"Dzikir."

"Isa?"

"Kelembutan cinta kasih, alam getaran hub."

"Adapun dari Muhammad, anakku?"

"Kematangan, kesempurnaan, ilmu manajemen dari semua unsur cahaya yang dibawa oleh para perutusan Allah sebelumnya."

**

Akhirnya tiba kepada santri kesembilan. "Di tahap cahaya Islam yang manakah kehidupan dewasa ini?"

"Tak menentu, Kiai," jawab sanri terakhir itu, "Terkadang, atau bahkan amat sering, kami adalah Adam yang sembrono dan nekad makan buah khuldi. Di saat
lain kami adalah Ayyub - tetapi - yang kalah oleh sakit berkepanjangan dan putus asa oleh perolehan yang amat sedikit. Sebagian kami memperoleh jabatan
seperti Yusuf tapi tak kami sertakan keadilan dan kebijakannya; sebagian lain malah menjadi Yusuf yang dicampakkan ke dalam sumur tanpa ada yang
mengambilnya. Ada juga golongan dari kami yang telah dengan gagahnya membawa kapak bagai Ibrahim, tapi sebelum tiba di gudang berhala, malah berbelok
mengerjakan sawah-sawah Fir'aun atau membelah kayu-kayu untuk pembangunan istana diktator itu."

Pak Kiai tersenyum, dan santri itu meneruskan, "Mungkin itu yang menyebabkan seringkali kami tersembelih bagai Ismail, tapi tak ada kambing yang
menggantikan ketersembelihan kami."

"Maka sebagian dari kami lari bagai Yunus: seekor ikan paus raksasa menelan kami, dan sampai hari ini kami masih belum selesai mendiskusikan dan
menseminarkan bagaimana cara keluar dari perut ikan."

Pak Kiai tertawa terkekeh-kekeh.

"Kami belajar pidato seperti Harun, sebab dewasa ini berlangsung apa yang disebut abad informasi. Tetapi isi pidato kami seharusnya diucapkan 15 abad
yang lalu, padahal Musa-Musa kami hari ini tidaklah sanggup membelah samudera."

"Anakku," Pak Kiai menyela, "pernyataan- pernyataanmu penuh rasa sedih dan juga semacam rasa putus asa."

"Insyaallah tidak, Kiai," jawab sang sanri, "Cara yang terbaik untuk menjadi kuat ialah menyadari kelemahan. Cara yang terbaik untuk bisa maju ialah
memahami kemunduran. Sebodoh-bodoh kami, sebenarnya telah pula berupaya membuat tali berpeluru Dawud untuk menyiapkan diri melawan Jalut. Tongkat
Musa kami pun telah perlahan-lahan kami rekayasa, agar kelak memiliki kemampuan untuk kami lemparkan ke halaman istana Fir'aun dan menelan semua
ular-ular sihir yang melata-lata. Kami juga mulai berguru kepada Sulaiman si raja agung pemelihara ekosistem. Seperti Musa kami juga belajar berendah
hati kepada ufuk ilmu Khidhir. Dan berzikir. Bagai Zakaria, kami memperpeka kehidupan kami agar memperoleh kelembutan yang karib dengan ilmu dan
kekuatan Allah. Terkadang kami khilaf mengambil hanya salah satu watak Isa, yakni yang tampak sebagai kelembekan. Tetapi kami telah makin mengerti
bagaiman berguru kepada keutuhan Muhammad, mengelola perimbangan unsur-unsur, terutama antara cinta dengan kebenaran. Sebab tanpa cinta,
kebenaran menjadi kaku dan otoriter. Sedangkan tanpa kebenaran, cinta menjadi hanya kelemahan, keterseretan, terjebak dalam kekufuran yang samar,
hanyut dan tidak berjuang."

**

Betapa tak terbatas apabila perbincangan itu diteruskan jika tujuannya adalah hendak menguak rahasia cahaya Islam.

"Sampai tahap ini," kata Pak Kiai, "cukuplah itu bagi kalian, sesudah dua pertanyaan berikut ini kalian jawab."

"Kami berusaha, Kiai," jawab mereka.

"Bagaimana kalian menghubungkan keyakinan kalian itu dengan keadaan masyarakat dan negeri di mana kalian bertempat tinggal?"

"Kebenaran berlaku hanya apabila diletakkan pada maqam yang juga benar. Juga setiap kata dan gerak perjuangan," berkata salah seorang.

"Sebaik-baik urusan ialah di tengah-tengahnya, kata Rasul Agung. Harus pas.
Tak lebih tak kurang," sambung lainnya.

"Muhammad juga mengajarkan kapan masuk Gua Hira, kapan terjun ke tengah masyarakat," sambung yang lain lagi.

"Mencari titik koordiat yang paling tepat pada persilangan ruang dan waktu, atau pada lalu lintas situasi dan peta sejarah."

"Ada dakwah rahasia, ada dakwah terang-terangan. "

"Hikmah, maw'idhah hasanah, jadilhum billati hiya ahsan."

"Makan hanya ketika lapar, berhenti makan sebelum kenyang. Itulah irama. Itulah sesehat-sehat kesehatan, yang berlaku bagi tubuh maupun proses
sejarah."

"Perjuangan ialah mengetahui kapan berhijrah ke Madinah dan kapan kembali ke Makkah untuk kemenangan."

"Dan di atas semua itu, Rasulullah Muhammad bersedia tidur beralaskan daun kurma atau bahkan di atas lantai tanah."

Pak Kiai tersenyum, "Apa titik tengah di antara kutub kaku dan kutub lembek, anak-anakku? "

"Lentur, Kiai!" kesembilan santri itu menjawab serentak, karena kalimat itulah memang yang hampir setiap hari mereka dengarkan dari mulut Pak Kiai
sejak hari pertama mereka datang ke pesantren itu.

"Fal-yatalaththaf! " ucap Pak Kiai akhirnya sambil berdiri dan menyalami santri-santrinya satu per satu, "titik pusat Al-Qur'an!"
(EAN/1987/ PmBNetDok)

Thawaf, Mudik dan Ilaihi Rojiun

Sejak sekitar sepuluh tahun yang lalu orang berbicara tentang kebangkitan Islam atau Islamic revival. Hal itu biasanya dihubungkan dengan arus pembusukan ke-budayaan manusia modern. Komunisme hancur, kapital-isme akan menjadi “Buta Cakil” yang akan mbrodhol ususnya oleh kerisnya sendiri. Peradaban abad ke-20 yang sekularistik akan dituntut oleh nurani ummat manusia kenapa tak bisa memproduk fasilitas-faslitas hidup dan metoda sejarah yang bisa membahagiakan manusia.
Di ujung semua gejala itu akan berlaku sunnatullah. Di mana gejala proses respiritualisasi akan berlangsung. Masyarakat modern sekuler akan kembali kepada agama. Nurani zaman merindukan kembali ayat-ayat Allah. Keangkuhan peradaban modern akan mengalami konversi dan titik balik ke nilai-nilai transendental.
Akan tetapi permasalahannya, dari mana arus balik itu akan bermula? Apa dan siapa yang memeloporinya? Di wilayah mana dari bumi itu ia akan berlangsung? Kelompok masyarakat mana yang akan menandai awal kebangkitan itu?
Dewasa ini air kawah tampaknya sudah mengalir keluar dari rahim sejarah. Persoalannya, bayi macam apa yang akan lahir?
***
Apakah Khomeinisme dan Revolusi Iran yang tetap gegap gempita itu boleh dianggap sebagai pelopor dari kebangkitan Islam? Suasana Revolusioner Islam pemerintah dan masyarakat Iran sampai hari, yang selalu meneriakkan USA, Go to Hell! —Apakah bisa diindikasikan sebagai “air kawah” itu? Di mana Amerika Serikat diletakkan sebagai simbol utama dari kesesatan peradaban sekuler?

Mungkin bisa, mungkin tidak.

Mungkin sejarah Iran pasca-Syah Iran memang bertugas menancapkan fundamen bangunan Baitullah peradaban Islam di zaman Modern. Bukankah mereka memang secara tak sengaja disebut sebagai kaum fundamentalis? Iran meletakkan dasar, cor batu-batu, baja pilar-pilar, tulang belulang bangunan yang kini belum bisa kita bayangkan akan bagaimana.
Ketika rumah masih berada pada tahap pademi dan pilar, ia memang belum indah, masih terkesan serba batu, serta keras, serba tidak nyaman. Orang Iran berkorban dicitrai seperti itu oleh proses sejarah pembangkitan Islam di muka bumi modern.
Nanti masyarakat ilmuwan di belahan bumi Utara —terutama di Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea— akan terpergok oleh kebenaran Islam melalui eksplorasi tuntas ilmu pengetahuan dan teknologi mereka. Mereka akan terhenyak dan terbangun dari tidur teologi berabad-abad lamanya. Mereka akan dengan sendirinya bertugas pada pasca pademi. Mereka akan membangun tembok-tembok, memasang atap, blandar, genting, dan cungkup puncak. Dan mereka sudah memulainya, meskipun belum dimaksudkan untuk Islam.
Kemudian kaum muslimin Indonesia, ummat Islam negeri maritim, negeri kepulauan dan hutan, negeri hijau dan keindahan —akan bertugas se¬sudahnya. Orang Islam Indonesia akan menjadi seruman penghias, mengecat, mengukir, mbraeni, mamayu hayuning rumah kebangkitan peradaban Islam.
Lihatlah budaya Lebaran kita. Pandanglah mobilisasi Idul Fitri kita. Saksikanlah kita menghiasi penemuan ruhani dan rumbai-rumbai jasmani. Tataplah jutaan orang mengalir, memenuhi kendaraan antar kota, berduyun-duyun mendatangi kembali sumber sejarahnya.
Orang mudik itu melaksanakan teologi ilaihi raji’un. Kembali ke Allah, melalui asal keluarga dan washilah kesejarahan lainnya.
Orang mudik itu mengayubagya sumber hidupnya. Mendatangi kembali sangkan hidupnya yang sekaligus merupakan paran hidupnya. Kampung halaman, keluarga, bapak ibu, kakek nenek, kesadaran rahim ibu, dan kelahiran mereka di dunia sampai pada akhirnya sesudah proses mudik geneologis-historis ini, ruhani mereka meneruskan perjalanan itu ke mudik teologis. Yakni, kesadaran dan keridhaan bahwa kita semua ini berasal dari Allah dan sedang menempuh perjalanan kembali kepada Allah juga, karena tidak ada tempat lain untuk kembali.
Mestinya, dengan Idul Fitri, dengan mudik segala arti —kita bisa mulai menakar, mempertim¬bangkan dan menentukan setiap langkah kita besok sesudah Hari Raya —menjadi langkah karena Allah, langkah milik Allah, langkah untuk Allah, bahkan langkah Allah itu sendiri.
(Emha Ainun Nadjib/Puasa Itu Puasa/Progress/ PmbNetDok)

Min Haitsu L Yahtasib

Terkadang Tuhan meletakkan rahmat-Nya di tempat-tempat yang sama sekali tidak menarik bagi manusia. Terkadang Tuhan menyembunyikan anugerah-Nya di balik momentum yang tak terduga oleh siapa pun. Terkadang Tuhan melakukan penyelamatan, memberikan rizki, serta menjanjikan rahasia-rahasia, di belakang suatu kejadian yang seakan-akan bernama musibah atau kecelakaan.

Beberapa hari saya di Jakarta, saya menjumpai berbagai kenyataan dan gejala di mana Tuhan “menyembunyikan barang berharga di tempat yang sepele dan tidak kentara”.

Saya didatangkan ke berbagai tempat untuk dijadikan “keranjang sampah’’ bagi uneg-uneg, keluhan, protes, tetapi juga semangat perjuangan. Sejumlah direktur perusahaan, pengusaha, dan tokoh-tokoh profesional yang hidupnya selama itu dikategorikan jauh dari wilayah-wilayah keagamaan, spiritual, atau moral sosial, berpidato panjang di depan saya, mengucapkan berbagai gagasan yang sebenarnya sangat tepat untuk diucapkan dalam khotbah Jum’at.

Saya bertemu dengan ghirrah agama di tengah pasar kapitalisme. Saya bertemu dengan kerinduan yang menggebu-gebu kepada Tuhan dan nurani kemanusiaan di tengah suasana-suasana yang selama ini kita asumsikan terdiri atas nafsu, kebinatangan, dan keserakahan. Saya berjumpa dengan siratan ayat-ayat Allah di tengah atmosfer kehidupan kota metropolitan yang selama ini kita sepakati sebagai dunia yang hanya berisi materialisme, takhayul konsumsi, hedonisme, dan kemubadziran.

Min haitsu la yahtasib. Jatuh dan bangkitnya nilai, gelap dan terangnya keadaan, jauh dan dekatnya para hamba kepada Allah, naik turunnya kemesraan dengan Sang Pencipta, berlangsung tidak pada ruang dan waktu yang bisa kita perhitungkan. Selalu saja Allah menginvestasikan sesuatu yang tak pernah diduga-duga oleh siapa pun. Innaka la tahdi man ahbabta, wa-la-kinnallaha yahdi man-yasya’. Sesungguhnya engkau tak akan pernah sanggup memberi petunjuk kepada siapa yang kau kehendaki untuk mendapatkan petunjuk, melainkan Allah yang Maha Sanggup menghidayahi siapapun saja yang dikehendaki- Nya.

Saya mencoba menarik garis dari snapshot keadaan yang sekilas itu kepada sejumlah titik. Pertama, kalau kaum muslimin berbicara tentang kebangkitan Islam, asosiasi utama yang muncul di benak mereka adalah semaraknya tempat-tempat ibadah, membengkaknya komunitas-komunitas religius, meningkatnya akses orang Islam terhadap struktur sejarah, dan sebagainya.

Dengan kata lain, kebangkitan Islam dibayangkan terutama bermula dari kantong-kantong kultur agama. Yang ingin saya catat di situ adalah kenyataan yang berbeda: justru dari tengah dunia yang penuh nafsu, kerakusan, dan kebinatangan lahir tetesan-tetesan uluhiyah. Dari sub-kultur metropolitan, muncul kelahiran baru kesadaran beragama. Dari lingkungan-lingkung an yang selama ini kita ketahui hanya berisi keduniaan, ternyata nongol kerinduan keakhiratan yang lebih mendalam dan lebih dahsyat dibanding yang bisa dirasakan di masjid-masjid.

Intensitas kerinduan keakhiratan dari daerah “rawan akhlaq”, baik kultural maupun struktural, itu terjadi justru karena cahaya itu memiliki sifat lebih ekstrem terhadap kegelapan dibanding terhadap ruang yang tak begitu gelap. Kalau Anda melakukan ma-lima dalam waktu lama, kemudian Anda tiba pada kondisi taubah nashuha, maka tangisnya akan lebih mendalam dibanding tangis orang-orang yang tak begitu punya dosa.

Mengapa kesadaran keagamaan yang lahir dari wilayah-wilayah macam ini saya katakan di atas sangat bagus jika diucapkan misalnya sebagai khotbah Jum’at? Karena, keinsafan keilahian itu mereka temukan dari pengalaman-pengalam an kongkret.

Orang-orang semacam ini adalah para pekerja sejarah yang nyata. Mereka adalah pejalan-pejalan struktural, pelaku-pelaku mekanisme kenyataan, yang mengerti persis apa isi dunia, sehingga juga lebih memiliki pemikiran yang strategis dan mendasar jika harus menterjemahkan konversi keagamaannya itu ke dalam aktualisasi realistik.

Sejumlah pemikiran dan program ekstra-bisnis yang para tokoh sudah dan akan lakukan terutama di bidang perekonomian dan pendidikan saya bayangkan sebagai sesuatu yang selama ini seharusnya menjadi program Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Bukankah institusi-institusi keagamaan kita selama itu relatif steril dari sangat banyak permasalahan kongkret ummat dan rakyat Indonesia? Bukankah organisasi-organisa si Islam yang besar dan kecil selama ini tidak cukup serius merelevansikan dirinya kepada tema-tema realistik seperti perintisan kekuatan perekonomian struktural ummat, pengolahan aset-aset ummat Islam untuk “berperang” di tengah pergulatan sejarah yang kongkret? Sungguh, kekuatan agama, kekuatan Tuhan, Kekuatan kebenaran dan keadilan, tidak terutama terletak pada lembaga-lembaga keagamaan yang selama ini kita anggap paling menyangga amanat-amanat tersebut. Kebangkitan kekuatan itu bisa justru terletak di wilayah-wilayah yang kita anggap “musuh agama”. Bahkan, tokoh-tokoh Islam bisa jadi bukanlah mereka-mereka yang selama ini kita anggap sebagai tokoh-tokoh Islam.[]
(Emha Ainun Nadjib/"Puasa Itu Puasa"/PmBNetDok)

Hancurkan Kebinatanganku

Pada setiap raka'at sembahyang yang tanpa duduk tahiyat, Anda memerlukan tahap transisi ruku' dari qiyam menuju posisi sujud. Tapi kemudian dari posisi sujud ke qiyam, Anda melakukannya langsung tanpa ruku'.

Ini acuan pertama.

Acuan kedua adalah pertemuan Anda dalam shalat dengan beberapa karakter atau sifat Allah swt. Ini berdasarkan kalimat-kalimat yang Anda ucapkan selama melakukan shalat.

Pertama, tentu saja Allah yang akbar. Lantas ia bagai rabbun. Selanjutnya, rahmân dan rahîm. Kemudian hakekat kedudukannya sebagai mâlik. Dan akhirnya Allah yang `adhîm dan a`lâ.

***

Kedudukan Allah sebagai akbar atau Yang Maha Lebih besar (Ia senantiasa terasa lebih besar, dinamika, tak terhingga, seiring dengan pemuaian kesadaran dan penemuan kita)—kita ucapkan untuk mengawali shalat serta untuk menandai pergantian tahap ke tahap berikutnya dalam shalat.

Artinya, setiap langkah kesadaran dan laku kita letakkan di dalam penghayatan tentang ketidakterhinggaan kebesaran-Nya, melainkan mengasah kita melalui fungsi-Nya sebagai rabbun.

Sebagai Yang maha Mengasuh, Ia bersifat penuh kasih dan penuh sayang, Rahmân dan Rahîm. Penuh cinta dalam konteks hubungan individual Ia dengan Anda, maupun dalam hubungan yang lebih `heterogen' antara ia dengan komprehensi kebersamaan kemanusiaan dan alam semesta.

***

Tapi jangan lupa Ia adalah Raja Diraja, Ia Mâlik, hakim agung di hari perhitungan. Ia sekaligus Maha Legislatif, Maha Eksekutif dan Maha Yudikatif.

Dan memang hanya Ia yang berhak penuh merangkum seluruh kehidupan itu hanya dengan diri-Nya yang sendiri, tanpa kita khawatirkan terjadi ketidakadilan dan ketidakjujuran—yang pada budaya kekuasaan antara manusia dua faktor itu membuat mereka menciptakan perimbangan sistem trias politica.

Kemudian karakter dan kedudukan-Nya sebagai `Adhîm dan A`lâ, Yang Maha besar (horisontal) dan Maha tinggi (vertikal).

***

Yang ingin saya kemukakan kepada Anda adalah bahwa kita menyadari-Nya sebagai A`lâ, Yang Maha Tinggi itu tatkala dalam shalat kita berposisi dan bersikap sebagai binatang. Artinya, ketika kita menyadari kebinatangan kita, yakni dalam keadaan bersujud: badan kita menelungkup bak binatang berkaki empat.

Ketika kita beroperasi setengah binatang, waktu ruku' bagaikan monyet yang seolah berdiri penuh seperti manusia namun tangannya berposisi sekaligus sebagai kaki—yang kita sadari adalah Allah sebagai `Adhîm.

Dan ketika kita berdiri (qiyâm), Allah yang kita hadapi adalah Allah Rahmân, Rahîm, dan Mâlik. Binatang yang ruku' dan sujud' tidak memiliki tradisi intelek dan kesadaran ontologis, sehingga tidak terlibat dalam urusan dengan mâliki yaumiddîn. Raja Hakim hari perhitungan. Kadal dan monyet, termasuk juga virus HIV, tidak diadili, tidak masuk sorga atau neraka.

Ketika kita menjadi binatang atau menyadari potensi kebinatangan diri saat sujud dan ruku', kedudukan subyek kita waktu itu adalah aku. Maka kita ucapkan subhâna rabbiya...., bukan subhâna rabbinâ....

Subyek `aku', dengan aksentuasi egoisme, individualisme, egosentrisme, dst. lebih dekat ke kebintangan, dan itu yang harus kita sujudkan kehadapan Allah swt.

Adapun ketika kita berdiri `qiyâm', kita menjadi manusia kembali. Dan subyek kita ketika itu bukan lagi menjadi `aku' melainkan `kami'. Artinya, tanda-tanda eksistensi kemanusiaan adalah pada kadar sosialitasnya, kebersamaannya, integritas kiri-kanannya. Kalau binatang, secara naluriyah ia bermasyarakat, tapi oleh Allah tidak dituntut atau ditagih tanggung jawab kemasyarakatannya. Tuntutan dan tagihan itulah yang membedakan antara binatang dan manusia, itu pulalah yang menghinakan manusia, atau justru memuliakannya.

***

Mungkin itulah sebabnya maka sesudah kita ber-takbiratul ikhram dan berdiri `sebagai manusia', Allah menyuruh kita untuk terlebih dahulu menyadari potensi kebinatangan kita dalam sujud, melalui transisi ruku'. Nanti sesudah sujudnya penuh, silakan langsung berdiri kembali sebagai manusia.

Nanti menjelang Pemilu, pesta demokrasi yang urusannya bergelimang kekuatan dan kekuasaan di antara sesama manusia—ada baiknya semua pihak memperbanyak sujud. Agar supaya kebinatangan diminimalisir.

Dan semoga jangan banyak-banyak yang bersikap sebagaimana iblis, yang menolak bersujud, karena merasa lebih tinggi, lebih benar, lebih takabur.

Ah, nanti panjang sekali kalau saya teruskan.... []
(Emha Ainun Nadjib/"Keranjang Sampah"/1999/ PmBNetDok)
Kalau engkau sopir taksi, angguna, atau angkota lainnya, atau barangkali engkau tukang becak dan pada menit dan jam tertentu siang itu engkau melintas di jalan tertentu lantas pada detik tertentu muncul seseorang dari gang kampung dan melambaikan tangan memanggil kendaraanmu, aku bertanya: siapakah yang mengatur pertemuan kalian pada detik itu?

Seandainya kendaraanmu itu melintas beberapa detik lebih cepat, atau orang dari gang itu nongol lebih lambat beberapa detik, sehingga yang ia panggil adalah taksi berikutnya yang lewat, aku bertanya: siapakah yang mengatur adegan itu, dan apa makna pengaturan itu?

Atau dalam situasi dan kejadian-kejadian lain dalam hidupmu, tentu sering engkau mengalami pertemuan atau kemelesetan pertemuan antara “kebutuhan” dan “pemenuhan”. Biasanya engkau mengatakan, bahwa peristiwa semacam itu bernama kebetulan.

Akan tetapi dalam bahasa dan budaya komunikasi kita, “kebetulan” itu dipahami sebagai sesuatu yang tidak disengaja. Istilah Inggrisnya accidently terjadi karena suatu “kecelakaan”.

Aku ingin mengatakan kepadamu bahwa kejadian semacam itu benar tidak sengaja. Artinya, engkau tidak bisa menyengajainya, tetapi Allahlah yang sengaja menciptakannya.
***

Terkadang Allah itulah yang bernama kebenaran, atau al-haq sebagaimana seluruh proses, sistem dan irama penciptaan alam semesta dan kehidupan ummat manusia ini adalah disengaja oleh Allah. Saham kesengajaan Allah itu ada yang seratus persen, ada yang kurang dari itu, karena sisanya dimandatkan untuk menjadi kewenangan khalifah-Nya yang bernama manusia. Benda alam ini dengan seluruh sistemnya disengaja seratus persen oleh pola penciptaanNya. Tapi bahwa kemudian terjadi ketidak-seimbangan ekologis, terjadi kebakaran di hutan, banjir karena ketidaktertataan pembangunan, pelubangan ozon, udan salah mongso, dan lain sebagainya itu tanda bahwa Allah berbagi kepada manusia, memberi mandat kepadanya untuk mengerjakan sesuatu, tapi diperintahkan agar disesuaikan dengan kehendak-Nya.
Sama dengan rambut lurusmu itu, hidung mancungmu itu, kokoh tanganmu itu, disengaja seratus persen oleh Allah. Tapi, Ia memberimu persentase pinjaman (haq) juga kepadamu, dan engkau pergi ke salon mengkritingkan rambutmu, engkau ke toko emas memasang anting-anting di hidungmu, serta engkau ikut fitnees untuk lebih mengokohkan badanmu.

Sekarang engkau kembali ke taksi. Hitunglah sesekali berapa persentase kesengajaan Allah atas kejadian-kejadian yang engkau alami, dan berapa persentase yang engkau upayakan sendiri. Mungkin pada jam tertentu engkau meluncurkan taksimu ke depan stasiun atau ke tempat-tempat tertentu yang engkau perhitungkan akan banyak pe-numpang. Dan itulah yang namanya ikhtiar, kreativitas, budaya dan sejarah. Tapi tetaplah jangan sampai engkau mengabaikan bahwa di sisi semua sepak terjang sejarahmu sesungguhnya peran kesengajaan Allah atas nasibmu tetap sangat tinggi.

Dan bagaimana Allah menyengajakan model nasib atasmu, bergantung pada dua hal. Pertama, pada hak mutlak Allah untuk menentukan apa saja. Kedua, pada kualitas dan moral pergaulanmu sendiri terhadap Allah.
***

Terkadang engkau tidak memperhitungkan bahwa Allah berperan atas nasibmu, dan peranNya itu amat dilatarbelakangi oleh sifat kasih sayang. Tapi engkau lupa atau tidak yakin, sehingga diam-diam engkau berpendapat bahwa hanya engkau sendirian yang bisa menolong nasibmu. Maka engkau berupaya dengan segala cara: menyerobot sana-sini, mencurangi teman, ngentol penumpang dan lain sebagainya. Kalau engkau bersedia niteni, meneliti, dan mengingat-ingat apa peran kesengajaan Allah atas hidupmu, engkau akan menemukan berbagai “kebetulan” yang nanti harus engkau pahami sebagai “kebenaran”.

Kalau hatimu berzikir dan mengonsentrasikan diri pada fungsi kesengajaan Allah yang penuh kasih sayang atas naik turunnya nasibmu, engkau InsyaAllah dibimbing untuk senantiasa berada di dalam atau dekat kasih sayang-Nya itu. Pikiranmu akan dituntun oleh-Nya untuk memasuki ide-ide atau gagasan dalam mengendalikan setir mobilmu yang sesuai dengan kasih sayang-Nya. Kakimu, tanganmu, alam pikiran, dan perasaanmu insya-Allah akan senantiasa dipanggil oleh-Nya ke dalam cinta-Nya.

Dengan demikian, engkau tak perlu menyerobot kasih sayang Allah yang di anugerahkan kepada teman atau pesaingmu. Karena, di samping kasih sayang-Nya juga tersedia buatmu, juga karena kalau engkau mencuri rahmat yang diterima oleh saudaramu, maka nanti engkau harus membayarnya. Mungkin keharusan membayar itu membuat kasih sayang Allah urung menaburi hidupmu.[]

(Emha Ainun Nadjib/Puasa Itu Puasa/Progress/ PmBNetDok)

Mudik, Thawaf dan Ilaihi Raji’un

Sejak sekitar sepuluh tahun yang lalu orang berbicara tentang kebangkitan Islam atau Islamic revival. Hal itu biasanya dihubungkan dengan arus pembusukan ke-budayaan manusia modern. Komunisme hancur, kapital-isme akan menjadi “Buta Cakil” yang akan mbrodhol ususnya oleh kerisnya sendiri. Peradaban abad ke-20 yang sekularistik akan dituntut oleh nurani ummat manusia kenapa tak bisa memproduk fasilitas-faslitas hidup dan metoda sejarah yang bisa membahagiakan manusia.

Di ujung semua gejala itu akan berlaku sunnatullah. Di mana gejala proses respiritualisasi akan berlangsung. Masyarakat modern sekuler akan kembali kepada agama. Nurani zaman merindukan kembali ayat-ayat Allah. Keangkuhan peradaban modern akan mengalami konversi dan titik balik ke nilai-nilai transendental.

Akan tetapi permasalahannya, dari mana arus balik itu akan bermula? Apa dan siapa yang memeloporinya? Di wilayah mana dari bumi itu ia akan berlangsung? Kelompok masyarakat mana yang akan menandai awal kebangkitan itu?

Dewasa ini air kawah tampaknya sudah mengalir keluar dari rahim sejarah. Persoalannya, bayi macam apa yang akan lahir?
***
Apakah Khomeinisme dan Revolusi Iran yang tetap gegap gempita itu boleh dianggap sebagai pelopor dari kebangkitan Islam? Suasana Revolusioner Islam pemerintah dan masyarakat Iran sampai hari, yang selalu meneriakkan USA, Go to Hell! —Apakah bisa diindikasikan sebagai “air kawah” itu? Di mana Amerika Serikat diletakkan sebagai simbol utama dari kesesatan peradaban sekuler?

Mungkin bisa, mungkin tidak.

Mungkin sejarah Iran pasca-Syah Iran memang bertugas menancapkan fundamen bangunan Baitullah peradaban Islam di zaman Modern. Bukankah mereka memang secara tak sengaja disebut sebagai kaum fundamentalis? Iran meletakkan dasar, cor batu-batu, baja pilar-pilar, tulang belulang bangunan yang kini belum bisa kita bayangkan akan bagaimana.

Ketika rumah masih berada pada tahap pademi dan pilar, ia memang belum indah, masih terkesan serba batu, serta keras, serba tidak nyaman. Orang Iran berkorban dicitrai seperti itu oleh proses sejarah pembangkitan Islam di muka bumi modern.

Nanti masyarakat ilmuwan di belahan bumi Utara —terutama di Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea— akan terpergok oleh kebenaran Islam melalui eksplorasi tuntas ilmu pengetahuan dan teknologi mereka. Mereka akan terhenyak dan terbangun dari tidur teologi berabad-abad lamanya. Mereka akan dengan sendirinya bertugas pada pasca pademi. Mereka akan membangun tembok-tembok, memasang atap, blandar, genting, dan cungkup puncak. Dan mereka sudah memulainya, meskipun belum dimaksudkan untuk Islam.

Kemudian kaum muslimin Indonesia, ummat Islam negeri maritim, negeri kepulauan dan hutan, negeri hijau dan keindahan —akan bertugas se¬sudahnya. Orang Islam Indonesia akan menjadi seruman penghias, mengecat, mengukir, mbraeni, mamayu hayuning rumah kebangkitan peradaban Islam.

Lihatlah budaya Lebaran kita. Pandanglah mobilisasi Idul Fitri kita. Saksikanlah kita menghiasi penemuan ruhani dan rumbai-rumbai jasmani. Tataplah jutaan orang mengalir, memenuhi kendaraan antar kota, berduyun-duyun mendatangi kembali sumber sejarahnya.

Orang mudik itu melaksanakan teologi ilaihi raji’un. Kembali ke Allah, melalui asal keluarga dan washilah kesejarahan lainnya.

Orang mudik itu mengayubagya sumber hidupnya. Mendatangi kembali sangkan hidupnya yang sekaligus merupakan paran hidupnya. Kampung halaman, keluarga, bapak ibu, kakek nenek, kesadaran rahim ibu, dan kelahiran mereka di dunia sampai pada akhirnya sesudah proses mudik geneologis-historis ini, ruhani mereka meneruskan perjalanan itu ke mudik teologis. Yakni, kesadaran dan keridhaan bahwa kita semua ini berasal dari Allah dan sedang menempuh perjalanan kembali kepada Allah juga, karena tidak ada tempat lain untuk kembali.

Mestinya, dengan Idul Fitri, dengan mudik segala arti —kita bisa mulai menakar, mempertim¬bangkan dan menentukan setiap langkah kita besok sesudah Hari Raya —menjadi langkah karena Allah, langkah milik Allah, langkah untuk Allah, bahkan langkah Allah itu sendiri.

PmBnetDoc

Karikatur cinta

PERGOLAKAN tingkat dunia yang diawali karikatur Jyllands-Posten mungkin akan berlangsung lebih lama, jauh dan mendalam dibandingkan dengan yang kita bayangkan, kita analisis dan perhitungkan. Ia bukan sekadar ''lagu pop'' tentang Islamofobia, ''iman'' demokrasi dan hegemoni tafsir atas term terorisme.

Mungkin juga lebih dari sekadar asumsi tentang rasa seteru dolar terhadap euro, desain global penguasaan atas bumi yang sedang tiba pada ''bantingan kartu'' tertentu di samping tahap-tahap scheduling kartu-kartu lain sejak glasnost dan perestroika yang ''mendemokratiskan'' Uni Sovyet, kemudian Afghanistan, Irak, mendung berarak sekilas-sekilas di angkasa Suriah dan Iran, kemudian juga Indonesia: yang pilihan kartunya lain dari yang lain.

Lebih dari sekadar peristiwa politik, ideologi, dan kebudayaan: bisa jadi skala waktu yang melatarbelakangi karikatur itu adalah peradaban yang cukup panjang. Denmark bukan Britain yang punya pengalaman pergaulan dan apresiasi terhadap Islam berabad-abad lamanya.

Denmark adalah salah satu bagian dari wajah gemerlap Skandinavia yang sangat percaya pada tingkat tinggi kedewasaan demokrasi yang telah dicapainya. Salah satu ''ayat'' utama demokrasi, yakni kebebasan ekspresi, yang secara khusus dimanifestasikan oleh kebebasan pers sehari-hari, dijunjung sedemikian rupa sehingga tidak bisa dibayangkan bahwa agama, nabi, kitab suci, atau Tuhan akan dihormati melebihi kebebasan ekspresi.

Dan di puncak keindahan bebasnya ekspresi itu, jika seseorang harus menyusun kalimat, menggubah lagu, menggoreskan lukisan, atau menggambar karikatur --maka tema primernya, untuk situasi mutakhir dunia yang sangat direpotkan oleh terorisme, dan itu diidentikkan dengan Islam-- tak ada lain kecuali ungkapan kejengkelan, rasa sebel, mungkin sampai ke tingkat benci, kepada Islam. "For the sake of freedom of _expression," kata Jyllands-Posten, "the only thing expressed by the cartoons, however, was contempt for Muslims."

Ludah

Dalam sebuah peperangan, menantu Muhammad SAW, yakni Ali ibn Abi Thalib --yang di samping seorang teolog, spiritualis, budayawan, ahli strategi sosial, pendekar bela diri yang tak terkalahkan dalam olah pedang, juga seorang ilmuwan yang disepakati oleh semua ulama sebagai pemilik ''puncak kefasihan'' atau nahjul-balaghah-- berhasil mengalahkan lawannya. Ali berhasil memukul pedang lawannya hingga terlempar, kemudian menjatuhkannya dan menudingkan ujung pedang itu di leher lawannya. Ia tinggal menusukkannya, dan itu tidak melanggar HAM atau disebut pelaku kekerasan, sebagaimana ribuan tentara Belanda dulu mati di tanah air kita sama sekali bukan karena menjadi korban gerakan kekerasan bangsa Indonesia.

Namun tiba-tiba lawannya yang tergeletak itu meludahi wajah Ali. Ali kaget, mengusap lelehan air ludah di wajahnya, terdiam sesaat, kemudian menarik pedangnya dan beranjak pergi meninggalkan lawan yang dengan satu gerakan kecil bisa dibunuhnya. Tatkala seseorang bertanya kepadanya kenapa ia malah pergi dan bukan membunuh musuhnya padahal diludahi segala, Ali menjawab: "Karena aku diludahi, maka timbul amarah dan rasa benci di dalam hati saya kepadanya. Karena itu, saya meninggalkannya, karena betapa marahnya Tuhan kepada saya kalau saya membunuh lawan saya itu disebabkan oleh amarah dan kebencian."

Tidak perlu ada pameran tentang kearifan, kebesaran jiwa, atau kemurnian nilai dari peristiwa Ali itu, karena setiap manusia dalam sejarah masing-masing sudah dibekali Tuhan akal, kecerdasan, kepekaan rohani, dan pemetaan nilai-nilai. Tetapi mungkin perlu ada transfer fakta bahwa Ali adalah menantu seorang yang setiap kali dipaksa melakukan peperangan: ia selalu menyusun strategi yang tujuan utamanya adalah meminimalkan korban di kedua pihak. Sehingga, pada seluruh peperangan yang pernah Muhammad SAW alami, keseluruhan korban di bawah 500 orang.

Jika Engkau Memaafkan

Ada seorang teman bernama Abdullah ibn Ubay, yang kerjanya tiap hari --benar-benar tiap hari: mengejek Muhammad SAW, menyindir-nyindir, melecehkan, dan menghinanya. Itu berlangsung sepanjang hidup Muhammad SAW. Atas keadaan ini, bikinlah sayembara: siapa pun yang bisa menemukan satu kata saja balasan ejekan atau hinaan dari Muhammad SAW, apalagi kemarahan dan tindakan kekerasan --boleh diambil dari bahan sejarah yang mana pun, dari buku hadis, sunah Rasul maupun sirah Rasul-- mari kita urunan untuk memberi hadiah kepada yang bisa menemukannya. Termasuk tak ada satu kata buruk pun dari mulut Muhammad SAW atas orang-orang kampung Thaif yang mengusirnya dan melemparinya dengan batu hingga berdarah.

Allah sendiri memberikan acuan moral yang jelas kepada setiap orang yang dianiaya. Ia secara yuridis berhak melakukan hal yang sama, tak boleh lebih, kemudian dikunci oleh-Nya dengan keindahan: "Jika engkau memaafkannya, itu lebih baik di hadapan-Ku."

Muhammad SAW adalah manusia jelata (ia menolak menjadi mulkan-nabiyya atau nabi yang raja, dan memilih menjadi 'abdan-nabiyya, yakni nabi yang rakyat jelata) yang amat sengsara selama hidupnya, juga disengsarakan sesudah matinya, bahkan sampai berabad-abad sesudah itu. Fitnah dan kesalahanpahaman publik adalah menu utamanya. Panjang rumahnya 4,80 cm, lebarnya 4,62 cm. Allah tak mengizinkannya sekadar untuk punya satu anak lelaki, kecuali si Qosim yang diambil oleh-Nya kembali di masa kanak-kanaknya. Menantunya dibunuh orang. Kedua cucunya juga. Cucu pertamanya diracun oleh istrinya sendiri, ketahuan olehnya, ia memaafkannya, kemudian besok paginya diracun lagi dan meninggal. Cucu yang kedua bukan hanya dibunuh, tapi kepalanya diseret dengan kuda sejauh ratusan kilometer, sehingga kuburannya di dua tempat.

Muhammad SAW amat suka kambing bakar, khususnya kaki depan sebelah kiri. Dan kaki itulah yang dipanggang oleh Zaenab, seorang wanita Yahudi, dilumuri racun dan disuguhkan kepada beliau. Tubuh Muhammad SAW panas parah karena itu, dirawat di rumah Maimunah, tapi kemudian beliau meminta pindah opname di rumah Aisyah. Sebab Maimunah masih familinya sendiri, sehingga orang-orang yang bukan keluarganya tidak bebas membesuk beliau. Dengan pindah ke rumah Aisyah, maka semua golongan, parpol, ormas, lain agama dan aliran, punya peluang yang sama untuk menjenguk beliau.

Mencicipi Kesengsaraannya

Ini orang menjahit pakaiannya sendiri, menambal sepatunya sendiri, selama hidupnya tidak pernah makan kenyang tiga hari berturut-turut kecuali selalu ada hari-hari kelaparan. Istrinya tidak pernah bisa seminggu penuh menyuguhkan makanan secara sempurna kecuali selalu ada saat-saat panjang yang tak ada apa pun yang bisa disiapkan di meja makan rumah tangga mereka.

Jika di malam hari salat tahajud terlalu lama di masjid sehingga pulang terlambat, suami yang kalau bersuara selalu lirih dan kalau berjalan selalu menundukkan muka ini merasa pekewuh untuk membangunkan istrinya, sehingga tidur beralaskan kayu di depan pintu rumahnya.

Tentu semua gambaran kemelaratan itu bukanlah melankoli kesengsaraan. Tapi fitnah yang menimpanya sepanjang sejarah mungkin takkan tertanggungkan oleh siapa pun lainnya. Salah satu puncak kesengsaraan Muhammad SAW terkandung di balik salah satu statemennya yang penuh kedalaman duka: "Al-Islamu mahjubun bil-Muslimin." Islam ditutupi oleh kaum muslimin. Entah sedikit, entah sejumlah, entah banyak, entah kebanyakan --perilaku kaum muslimin bukan hanya tidak merepresentasikan Islam, lebih dari itu bahkan menutupi Islam. Menutupi itu melenyapkan, meniadakan.

Beribu kali saya terlibat dalam forum massa, umum maupun kaum muslimin, dan yang terindah adalah tatkala forum itu diberi judul "Memetik Kesengsaraan Rasulullah".
Beberapa kawan menanyakan, apakah saya tidak tersinggung atau marah atas karikatur di Denmark itu. Dengan sangat hati-hati saya memberikan beberapa jawaban: dengan segala keburukan dan kehinaan, saya ini amat amat amat mencintai Rasulullah Muhammad SAW. Ia manusia yang paling mencintai Allah dan paling dicintai Allah: bagaimana mungkin ada satu molekul dari hidup saya yang tak berisi cinta kepadanya. Kadar cinta saya kepada beliau membawa saya naik mabuk di atas mabuk, melayang lebih dari segala melayang, meringkuk lebih dari segala meringkuk, bahkan jauh melebihi kehidupan dan kematian saya.

Segala hinaan, ejekan, lecehan, dan cercaan, sampai tingkat sebrutal apa pun, tak akan mengurangi kadar cinta saya, 1 cc-pun. Cinta kepada Rasulullah memenuhi jiwa dan hidup saya, sehingga cinta saya kepada keluarga, khalayak, bangsa, negara, dan umat manusia: menjadi lebih indah, bercahaya, dan penuh kedamaian, di kandungan cinta kepada beliau. Sedahsyat-dahsyat penghinaan tak bisa menandingi kedahsyatan dan mutlaknya kematian, padahal cinta saya kepada beliau mengatasi hidup dan mati. Dan kalau Rasulullah tidak pernah marah, bahkan bersikap lembut dan selalu memaafkan orang yang menghinanya: bagaimana mungkin orang yang mencintai Rasulullah berani melakukan yang bukan kelembutan dan permaafan?

Juga titipan Allah melalui Muhammad SAW yang bernama Islam sangat memberi saya kecerdasan, kecerahan, kekuatan, dan ketenteraman --yang tak akan bisa seserpihkan dikurangi kadarnya oleh segala jenis penghinaan. Islam sangat memberi perlindungan dan sandaran. Islam sendiri tidak memerlukan saya, saya yang membutuhkan Islam. Bahkan, kalau boleh berterus terang, segala macam cercaan itu tidak berakibat apa-apa selain menambah senyuman saya dalam Islam dan memupuk cinta saya kepada Muhammad SAW. Penghinaan itu bahkan membantu dan menambahi tingkat tinggi maqam surga beliau.

Adapun tentang teman-teman Denmark itu, apakah engkau tidak mempelajari sejarah mereka, alam pikiran mereka, pengalaman peradaban mereka: sehingga engkau kaget oleh jenis ekspresi mereka? Atas dasar kenyataan ke-Denmark-an yang mana dan dimensi apa pada realitas alam pandang mereka sehingga engkau mengharapkan sesuatu yang bukan seperti karikatur itu? Kenapa engkau mengharapkan ayam mengembik atau mengharuskan kambing berkokok?
Pun tentang kaum muslimin yang berang, marah, naik pitam, mengamuk: kenapa engkau heran atau mengharapkan mereka tak berbuat seperti itu? Apa engkau kira mereka adalah Ali bin Abi Thalib? Berdasarkan tradisi pendidikan Islam yang mana, kebudayaan keagamaan kaum muslimin yang mana, kedewasaan, kearifan, dan kematangan kemanusiaan yang mana --sehingga engkau memprihatinkan amuck mereka?

Saya tidak akan meludahi mukamu, sebab aku tidak yakin engkau akan tidak marah juga seperti itu, bahkan dendammu mungkin akan tak pernah lenyap sepanjang hidupmu. Saya juga tak akan pernah membuat karikatur menggambar wajahmu seperti kera atau tokek, karena yang amat tersinggung pasti bukan hanya engkau, melainkan juga keluargamu, familimu, orang segolonganmu, masyarakatmu, mungkin juga bangsa dan negaramu. Kalau aku meludahi wajahmu karena demikianlah kebebasan ekspresiku, maka engkau pun menempeleng kepalaku sebab demikian jugalah kebebasan ekspresimu.

Kita gambar bersama-sama saja karikatur-karikatur cinta.

Emha Ainun Nadjib

Budayawan

[Kolom, Gatra Nomor 15 Beredar Senin, 20 Februari 2006]

Maha Satpam

Tanya jawab pengajian itu menjadi hangat. Tak disangka tak dinyana anak muda berpeci yang lehernya berkalung sajadah itu meningkatkan nada suaranya.

“saya sangat kecewa dan memprotes keras mengapa Bapak bersikap sedemikian lunak kepada orang-orang yang datang kekuburan untuk minta angka-angka buntutan!” ia menuding-nuding. “Itu jelas syirik. Saya sebagai warga organisasi Islam yang sejak kelahirannya memang bermaksud memberantas segala takhayul, bid’ah, khurafat, dan syirik, akan terus memberantas gejala-gejala semacam itu dalam masayarakat kita sampai titik darah penghabisan!”


Bapak ustadz terkesima.
Isi pemikiran pemuda itu aneh, meskipun bukan tidak menggelisahkan. Namun “semangat juangnya”-nya ini! Apakah ia baru saja membaca sajak Cjairil Anwar “AKU” atau “Persetujuan dengan Bung Karno” sehingga voltase darahnya meninggi? Tapi marilah bersyukur. Ini yang namanya sukses pewarisan nilai dan semangat perjuangan dari kader yang satu ke kader generasi yang lain. Prosporsi di mana dan untuk soal macam apa semangat itu mesti diterapkan, adalah soal kedua.


“Adik manis, maafkan kalau saya memang khilaf,” bapak ustadz berkata dengan lembut,” Tetapi sesungguhnya aspirasi kita tidak terlampau berbeda. Saya juga bermaksud tidak menularkan kebiasaan orang-orang tua untuk bersifat terlalu dingin terhadap gejala-gejala itu. Tetapi nyuwun sewu, saya melihat ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pernyataan anda tadi ibarat memasukkan sambal ke dalam es dawet…”


Para jamaah tertawa, meskipun pasti mereka belum mengerti maksudnya.


“Syirik ya syirik, tapi orang masuk kuburan kan macam-macam maunya. Ada yang mau mencuri tengkorak, ada yang sembunyi dari tagihan rentenir, ada yang sekedar menyepi karena pusing bertengkar terus dengan istrinya yang selalu meminta barang-barang seperti yang dibeli tetangganya. Terus terang saya juga sering masuk kuburan dan nyelempit di balik gerumbul-gerumbul karena sangat jenuh oleh acara macam yang kita selenggarakan malam ini, jenuh diundang kesana kemari untuk sesuatu yang sebenarnya tidak jelas. Jenuh meladeni pertanyaan-pertanyaan yang khas kaum muslimin abad ke-20 dari soal ‘apa hukum merangkul rambut’ sampai memandang wanita itu zina atau tidak’, atau jenuh oleh pikiran-pikiran puber yang akrobat pikiran intelektualnya over dosis. Kejenuhan itu sendiri sunnatullah atau hukum alam. Tuhan mengijinkan kita untuk merasa jenuh pada saat tertentu sebagai bagian dari peran kemanusiaan. Apakah buang jenuh di kuburan itu syirik?”


“Bukan itu maksud saya!” teriak sang pemuda, “Saya berbicara tentang orang yang meminta-minta di kuburan.”


“Baiklah,” lanjut bapak ustadz. “Syirik itu letaknya di hati dan sikap jiwa, tidak dikuburan atau di kantor pemerintah. Sebaiknya kita jangan gemampang, jangan terlalu memudahkan persoalan atau gampang menuduh orang. Saya terharu anda bersedia memerangi syirik sampai titik darah penghabisan, namun saya juga prihatin menyaksikan Anda bersikap begitu sombong kepada orang miskin…”


“Apa maksud bapak?” sang pemuda memotong.


“Bikinlah proposal untuk minta biaya meneliti siapa saja sebenarnya yang suka mendatangi kuburan, terutama yang menyangkut tingkat perekonomian mereka. Kita memang tahu para pejabat suka berdukun ria dan para pengusaha mendaki Gunung Kawi, tapi siapakah umumnya yang berurusan dengan kuburan untuk menggali harapan penghidupan? Saya berani jamin kepada Anda bahwa 90% pelanggan kuburan adalah orang-orang yang kehidupan ekonominya kepepet. Orang seperti anda ini saya perhitungkan tidak memerlukan kuburan karena wesel dari orang tua cukup lancar. Disamping itu syukurilah posisi sosial anda. Anda termasuk diantara sedikit anak-anak rakyat yang beruntung, memiliki peluang ekonomi untuk bisa bersekolah sampai perguruan tinggi. Karena anda sekolah sampai perguruan tinggi maka anda menjadi pandai dan mampu mengelola kehidupan secara lebih rasional. Harapan anda untuk menjadi pelanggan kuburan termasuk amat kecil. Anda akan menang bersaing meniti karier melawan para tamatan sekolah menegah, para DO atau apalagi para non-sekolah. Kalaupun kemudian menjumpai persoalan-persoalan umum yang menyangkut ketidakadilan ekonomi, misalnya, Anda bukan merencanakan berkunjung ke makam Sunan Beginjil, melainkan bikin kelompok diskusi yang memperbincangkan kepincangan ekonomi dan kemapanan kekuasaan politik…”


Seperti air bah kata-kata bapak ustadz kita meluncur.


“Kalaupun anda ogah terlibat bekerja dalam jajaran birokarsi kekuasaan atau tempat-tempat lain yang anda perhitungkan secara sistematik mendukung kemapanan itu, anda masih mempunyai peluang non-kuburan, misalnya, bikin badan swadaya masyarakat. Langkah pertama dari gerakan ketidaktergantungan itu ialah merintis ketergantungan terhadap dana luar negeri dimana anda bisa numpang makan, minum, merokok, dan memberi celana baru. Langkah kedua, menigkatkan kreativitas proposal agar secara pasti anda bisa memperoleh nafkah dari gerakan itu. Dan langkah ketiga, menyusun kecanggihan lembaga anda sedemikian rupa sehingga anda sungguh-sungguh bisa mengakumulasikan kekayaan, bikin rumah, beli mobil, dan memapankan deposito. Juklak saya untuk itu adalah umumkan ide-ide sosialisme perekonomian sebagai komoditi kapitalisme perusahaan swadaya masyarakat Anda. Kemiskinan adalah ekspor non-migas yang subur bagi kelompok pembebas rakyat di mana anda bisa bergabung…”


Bapak ustadz kita sudah tidak tebendung lagi.


“Dengan demikian anda bisa selamat dari budaya kuburan sampai akhir hayat. Hal-hal semacam itu tidak bisa dilakukan oleh orang-orang miskin yang hendak Anda berantas syiriknya itu. Mereka tak mampu membuat proposal, takut kepada Camat dan Babinsa, karena bagi mereka lebih mengerikan dibandingkan dengan hantu-hantu kuburan. Satu-stunya kesanggupan revolisioner yang masih tersisa pada orang kecil yang melarat adalah minta harapan secara gratis ke kuburan.”


Suasana pengajian menjadi semakin senyap.


“Bapak ini ngomong apa?” potong sang pemuda lagi.


“Kepada siapa dan apa sajakah Allah Cemburu pada zaman ini? Siapakah atau apakah yang di tuhankan orang di negeri Anda ini? Apa yang didambakanorang melebihi Tuhan? Apa yang sedemikian menghimpit memojokkan menindih orang seolah-olah berkekuatan melebihi Tuhan? Apa dan siapa yang mendorong orang tunduk, patuh, dan loyal sepenuh hidup kepadanya melebihi Tuhan? Apa yang memenuhi pikiran orang, memenuhi perasaan dan impian orang lebih dari keindahan /tuhan? Lihatlah itu, pikiran sosial Anda, pikiran politik Anda, pikiran ekonomi anda, perhitungan struktural Anda…”


Suara bapak ustadz kita menjadi agak gemetar meskipun nadanya meninggi.

“Beranikah Anda berangkat memberantas syirik-syirik besar yang dilatari oleh kekuasaan, senjata, dan fasilitas? Beranikah anda berperang melawan diri Anda sendiri untuk mengurangi sikap gemagah kepada orang-orang lemah? Sanggupkah Anda mengalahkan obsesi kehidupan Anda sendiri untuk merintis peperangan-peperangan yang sedikit punya harga diri?”


Napas mulai agak-agak ersenggal-senggal.


“Anda begitu bangga menjadi satpam kehidupan orang lain. Bahkan anda tampak bermaksud menjadi maha satpam yang memberantas syirik sampai titik darah yang terakhir. Tetapi anda menodongkan laras senjata Anda ke tubuh semut-semut yang terancam oleh badai api sehingga menyingkir ke kuburan kecil. Itu karena mata pengetahuan anda tak pernah di cuci kecuali oleh ulama-ulama yang memonopoli kompetisi pemikiran keagamaan, padahal mereka begitu pemalas mencuci mata umatnya, kecuali untuk soal-soal yang menyangkut kepentingan posisi mereka. Anda sudah tahu wajib, sunnat, halal, makruh, dan haram, tetapi itu hanya diterapkan untuk hal-hal yang wantah. Anda hanya bertanya orang sudah sholat Isya atau belum, orang ke kuburan atau tidak, si keponakan sudah pakai jilbab atau belum. Anda tidak merintis penerapan kualifikasi hukum lima itu untuk persoalan-persoalan yang lebih luas. Anda tidak pernah mempersoalkan bagaimana sejarah politik perekonomian dari tikar plastik yang setiap hari anda pakai sembahyang. Anda marah kenapa Cristine hakim tidak pakai jilbab padahal ia muslimah, tetapi telinga anda tuli terhadap kasus penggusuran, terhadap proses pembodohan lewat jaringan depolitiasi, terhadap proses pemiskinan, terhdap ketidakadilan sosial yang luas. Anda tidak belajar tahu apa saja soal-soal yang kualitasnya wajib dalam perhitungan makro struktural. Anda hanya sibuk mengincar orang masuk kuburan. Anda merepotkan diri mengurusi sunnah-sunnah dan tidak acuh terhdap kasus-kasus yang wajib respon sifatnya…”


“Pak! Mengapa jadi sejauh itu…?” sahut sang pemuda.


“Dengar dulu, anak muda!” tegang wajah sang bapak. “Itu yang menyebabkan anda tidak memiliki perhitungan yang menyeluruh untuk akhirnya menemukan hakekat kasus syirik yang sebenarnya. Anda hanya sanggup melihat seorang mencuri. Anda hanya tahu bahwa mencuri itu hukumnya haram, padahal melalui relativitas konstek-konteks, pencuri itu bisa halal sifatnya…”


“Apa-apaan ini, Pak?” sang pemuda nyelonong lagi.


“Kita ini dibesarkan dalam kekalahan-kekalahan. Dalam rasa ketidakmungkinan menang, subyektivitas kita tumbuh subur. Kalau kita becermin dan menjumpai wajah kekalahan di biliknya, kita ciptakan kemudian cermin yang mampu menyodorkan halusinasi kemenangan kita. Kalau kita tak punya biaya naik haji, naiklah kita ke puncak Gunung Kuripan dan merasa telah naik haji. Kalau tak sanggup perang melawan kekuatan manusia, kita cari tuyul untuk kita taklukan. Kalau tak ada juga peluang untuk tampil di panggung sejarah, kita berduyun-duyunlah dipanggung narkotik kebudayaan di bidang ndangdut, diskotik si Boy, atau mengangkat seorang pencoleng menjadi dermawan sehingga hati tehibur. Kalau risi berpegang pada pilar-pilar kufur dan tak sanggup bersandar pada udara, maka melianglah kita pada lubang sempit pengetahuan keagamaan kita yang mualaf dan nadir. Kita tak kuat naik gunung, kita susun gunung-gunung dalam tempurung. Naluri kekuasaan kita tumpahkan dalam tempurung. Kita menjadi “negara” dalam pesta syariat dangkal umat di sekeliling kita. Kita mengawasi muda-mudi yang berboncengan motor, kita menelepon pasien-pasien kita di pagi buta apakah ia sudah sholat shubuh, kita sholat jamaah sambil melirik apakah orang di samping kita sudah cukup kusuk sholatnya. Kita menjadi puritan, menjadi “manusia amat lokal”. Kita mendirikan kekuasaan baru dimana kita adalah penguasanya…”


Sang pemuda tak bisa tahan lagi, “Maaf, Pak! Berilah saya sedikit peluang…”


Tapi air bah terus tumpah ke bumi. ***

dari Buku "Slilit Sang Kiai", Grafiti, 1992

Sexy Body Istri Tetangga


Sexy Body Istri Tetangga

Dengan Sapi pun, Kita Bekerja Sama

Dalam forum maiyahan, tempat pemeluk berbagai agama berkumpul melingkar, sering saya bertanya kepada forum:”Apakah anda punya tetangga?”
Biasanya dijawab: “Tentu punya”
“Punya istri enggak tetangga Anda?”
“Ya, punya dong”
“Pernah lihat kaki istri tetangga Anda itu?”
“Secara khusus,tak pernah melihat”
“Jari-jari kakinya lima atau tujuh?”
“Tidak pernah memperhatikan”
“Body-nya sexy enggak?”
Hadirin biasanya tertawa. Dan saya lanjutkan tanpa menunggu jawaban mereka:”Sexy atau tidak bukan urusan kita,kan?Tidak usah kita perhatikan, tak usah kita amati, tak usah kita dialogkan, diskusikan atau perdebatkan. Biarin saja”.

Keyakinan keagamaan orang lain itu ya ibarat istri orang lain. Ndak usah diomong-omongkan, ndak usah dipersoalkan benar salahnya, mana yang lebih unggul atau apapun. Tentu, masing-masing suami punya penilaian bahwa istrinya begini begitu dibanding istri tetangganya, tapi cukuplah disimpan didalam hati.

Bagi orang non-Islam, agama Islam itu salah. Dan itulah sebabnya ia menjadi orang non-Islam. Kalau dia beranggapan atau meyakini bahwa Islam itu benar ngapain dia jadi non-Islam? Demikian juga, bagi orang Islam, agama lain itu salah, justru berdasar itulah maka ia menjadi orang Islam.

Tapi, sebagaimana istri tetangga, itu disimpan saja didalam hati, jangan diungkapkan, diperbandingkan, atau dijadikan bahan seminar atau pertengkaran.
Biarlah setiap orang memilih istri sendiri-sendiri, dan jagalah kemerdekaan masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai istrinya masing-masing, tak usah rewel bahwa istri kita lebih mancung hidungnya karena Bapaknya dulu sunatnya pakai calak dan tidak pakai dokter, umpamanya.

Dengan kata yang lebih jelas, teologi agama-agama tak usah dipertengkarkan, biarkan masing-masing pada keyakinannya. Sementara itu orang muslim yang mau melahirkan padahal motornya gembos, silakan pinjam motor tetangganya yang beragama Katolik untuk mengantar istrinya ke rumah sakit. Atau, Pak Pastor yang sebelah sana karena baju misanya kehujanan, apdahal waktunya mendesak, ia boleh pinjam baju koko tetangganya uang NU maupun yang Muhamadiyah.

Atau ada irang Hindu kerjasama bikin warung soto dengan tetangga Budha, kemudian bareng-bareng bawa colt bak ke pasar dengan tetangga Protestan untuk kulakan bahan-bahan jualannya.

Tetangga-tetangga berbagai pemeluk agama, warga berbagai parpol, golongan, aliran, kelompok, atau apapun, silakan bekerja sama dibidang usaha perekonomian, sosial, kebudayaan, sambil saling melindungi koridor teologi masing-masing. Bisa memperbaiki pagar bersama-sama, bisa gugur gungung membersihi kampung, bisa pergi mancing bareng bisa main gaple dan remi bersama.

Tidak ada masalah lurahnya Muslim, cariknya Katolik, kamituwonya Hindu, kebayannya Gatholoco, atau apapun. Jangankan kerja sama dengan sesama manusia, sedangkan dengan kerbau dan sapipun kita bekerja sama nyingkal dan nggaru sawah. Itulah lingkaran tulus hati dangan hati. Itulah maiyah. (emha ainun nadjib)

Ya Allah, Lindungi aku dari kursi...

Seorang teman dekat saya sedang pusing kepala dan stress cukup serius karena didaulat oleh rakyat agar ia menjadi Lurah.

Selama satu dua tahun belakangan ini kalau keluarga atau orang sedusunnya omong tentang kemungkinan ia jadi Lurah, ia menjawab ringan-ringan saja. Ia memberi alasan sekenanya saja untuk menolak. Karena toh, pikirnya, himbauan itu hanya romantisme kaum minoritas di desanya yang masih sempat menggagas bahwa sebuah desa sebaiknya dipimpin bukan oleh seorang penjahat.

Diam-diam sebenarnya ia tidak percaya diri. Mana mungkin manusia semacam dia dimpi-impikan orang untuk menjadi pemimpin. Juga siapa bilang menempuh proses untuk menjadi Lurah itu gampang. Harus ada modal besar dan menyiapkan sejumlah upeti feodalisme modern dalam konstelasinya. Toh rakyat pada umumnya, menurut pandangan dia, juga sudah bersikap apatis. Siapapun yang jadi lurah, mau kadal, mau kodok, mau pencopet, biar saja.

Disamping itu tak bisa dia membayangkan dirinya menjadi lurah. Bagaimana nanti. Harus pakai sepatu dan baju safari yang begituan itu kalau rapat di tempat Pak camat. Sedangkan dia mandi saja ogah-ogahan. Lantas nanti harus patuh pada konspirasi di tingkat itu: mungkin sesama Lurah, Camat, orang Koramil, Polsek dan Babinsa. Konspirasi yang selalu sudah otomatis mentradisikan kolusi-kolusi perdagangan yang modal utamanya adalah kekuasaan.

Teman saya ini bukan tidak mau kaya. Tapi untuk meladeni impian hidup ya tidak harus segitu-gitunya. Masak mau hidup enak saja pakai repot-repot memperbodoh rakyat, melakukan kejahatan-kejahatan kolektif-birokratis, menyakiti orang kecil, melanggar moral dan falsafah Negara dan lain sebagainya. Apa kalau sudah begitu lantas dia bisa makan lebih dari satu setengah piring, dan nasi rasanya menjadi seperti makanan kayak apa gitu.
Hidup Cuma sekali kok begitu repotnya. Manusia memang aneh-aneh dan kurang logis. Bilangnya beragama, tapi sibuknya membangun dunia. Membangun itu ya Akhirat dong. Dunia ini hanya perangkatnya, hanya fasilitas produksinya, tapi bukan produknya. Wong oleh Tuhan mau dikasih hidup abadi, malah memilih beberapa puluh tahun. Itu kan Cuma kalahmin bil-bashar, hanya sekedipan mata.

Dikasih kebesaran, malah ambil kekerdilan. Dikasih kelanggengan, malah bernafsu sama kesementaraan. Lha wong sorga itu indah dan mewahnya bukan main, kok malah gugup membangun dunia dalam gagasan bahwa dunia ini final dari segala-galanya. Yang dibangun juga yang enggak-enggak: sukses, frustasi,karya bermutu tinggi, nama baik, popularitas, kepahlawanan dalam sejarah. Emangnya buku sejarah akan berapa usianya. Manusia memang “GR”. Selalu merasa mampu berbuat yang hebat-hebat, seolah-olah kuku di jari-jarinya ia sendiri yang menumbuhkannya.

Yang lain malah membangun gedung-gedung dan pabrik yang merusak bumi, menyesakkan napas, memperbanyak virus, memperkembangkan penyakit, menumpuk kebingungan-kebingungan, hanya supaya bisa menjual obat anti bingung dan pil untuk melarikan diri dari kebingungan.

Sampai-sampai sekarang muncul sejenis serangga di ujung timur Jawa Timur, yang merupakan “produk kosmo genekologis” sampingan dari pengolahan nuklir. Serangga kecil itu, bagaimana virus macam HIV sebelumnya, tak akan bisa diberantas oleh teknologi kedokteran modern, dan yang dari Jatim itu akan bisa menghancurkan dunia. Ada terapi penumpasannya: ialah sesuatu yang akan anda tertawakan dan tidak dipercaya oleh kebanyakan orang, terutama yang hidup di kota-kota besar.

Alhasil manusia ini pinternya menyelenggarakan kerusakan, perusakan tatanan, penyakit, kebingungan, dan akhirnya benar-benar kerepotan sendiri.
Padahal hidup kan sederhana banget. Kebutuhan makan ya cuma segitu. Pakaian juga tak bisa rangkap-rangkap, kecuali orang sinting. Tempat tidur kan bisa apa saja, karena toh kalau sudah sangat mengantuk, tak bisa lagi dibedakan mana kasur mana tikar. Juga rumah. Kenapa harus mewah. Apa rumah bisa dikulum kayak permen. Anak-anak kita, kalau kita pandang wajah mereka, biar kita miskin atau kaya, ya tetap menyenangkan juga. Istri juga begitu. Biar cuma satu, tapi rasanya tetap enak juga. Cari yang lain-lain, ternyata ya mirip-mirip saja.

Lha kalau teman saya itu nanti benar-benar jadi Lurah, apa dia bisa hidup dengan pandangan tetap seperti itu. Kalau tak ikut menipu rakyat, apa nanti tidak dikucilkan. Kalau ikut, dia tidak canggih dalam hal kejahatan. Dia termasuk bodoh, tidak seperti kebanyakan penguasa. Teman saya itu dulu punya teman yang jadi Lurah, ikut kolusi sana-sini, lantas ketahuan-dan dia yang “disembelih” untuk jadi kambing hitam. Dia dipecat. Sekarang dia bertransmigrasi ke Kalimantan, membina hidup baru.

Jadi, bagi teman saya ini, tak ada hal yang lebih mengerikan di muka bumi ini dibanding menjadi Lurah. Tentu saja menjadi Menteri jauh lebih mengerikan, karena kekuasaan seorang Menteri bisa dipakai untuk ngakali banyak hal, mensiasati masalah-masalah, memanipulasikan kasus-kasus, mengarsiteki kejahatan sehingga menjadi berbentuk kebenaran dan dilihat orang banyak seolah-olah sungguh-sungguh kebenaran.

Kalau perlu carilah dukun, minta mantra-mantra bagaimana cara supaya tidak jadi Menteri. Soalnya kita ini orang lemah. Kita tahu diri. Seandainya kita ini manusia ma’shum (terjaga oleh Malaikat), kukuh dalam akhlakul karimah, tegak idealismenya, zuhud, dan Istiqomah-bolehlah kita sok-sok berambisi menjadi Menteri. Seandainya syahadat kita ini serius, shalat kita ini bener-bener, haji kita bukan karena mematuhi domino petunjuk dari yang teratas-ayolah “berusaha” menjadi menteri.

Tapi kalu tidak, meskipun wajah kita alim, sudah haji beberapa kali, nama kita pakai unsur Allah atau agama- misalnya Saifullah atau Brakoddin – tak usahlah terlalu mantap jadi Menteri. Jadi Menteri bukan prestasi, melainkan beban. Menjadi pejabat bukan reputasi melainkan amanat. Menjadi penguasa tidak otomatis merupakan rizki hidup, kecuali kalau kita tidak percaya kepada Tuhan dan Akhirat, lantas semua hasil kejahatan hidup kita bisa bawa ke kehidupan abadi yang kita selenggarakan sendiri dan kita bebaskan dari kekuasaan Tuhan.
Mokal-mokal memang kita semua ini. Kursi kok dicari-cari. Jabatan kok dimpi-impikan. Kedudukan kok dianggap lambang prestasi. Padahal sudah jelas uang sepuluh ribu rupiah saja punya kesanggupan untuk memperbudak manusia. Mana ada manusia yang mampu memperbudak uang?

Sedangkan dengan kursi, apalagi yang tinggi banget seperti yang diduduki oleh seseorang sehingga ia disebut Menteri - Anda bisa memproduksi keuntungan dan uang sangat banyak. Kursi memang jenis makhluk langka yang ajaib. Wong terbuat dari kayu, atau paling jauh logam – kok bisa beranak uang banyak. Lha wong kambing saja, yang merupakan makhluk bernyawa, hanya mampu beranak kambing. Jin pun hanya mampu beranak jin. Lha kok kursi yang tak bernyawa bisa memperanakkan macam-macam.

Makanya kalau jiwa belum muthmainnah dan mental belum zuhud, jangan bergaul dekat-dekat dengan kursi.

Kursi itu lebih sakti dibanding raja, ulama, jago kebatinan, intelektual, budayawan atau apapun. Raja yang aslinya sebagai manusia sangat baik dan santun, karena kelamaan bergaul dengan kursi bisa berubah menjadi monster. Ulama yang mahfudh, yang terpelihara jiwa dan perilakunya, gara-gara terpikat oleh gaya magis kursi, mripatnya bisa buta sebelah, sehingga ayat-ayat Tuhan yang bisa dilihatnya juga hanya bagian-bagian yang kondusif terhadap kepentingan kursi. Jago kebatinan kalau banyak-banyak bau kursi bisa menjelma jadi orang yang sibuk membatini kejagoan saja. Intelektual lebih asyik lagi: karena terkena sawab (tak pakai Mahasin) kursi, kalkulator di otaknya menjadi error atau mengalami “illegal operation” kalau pakai istilah Bill Gate – sehingga 4 x 4 = nunggu petunjuk dulu. Kalau budayawan, kayak saya ini, jelas: puncak prestasinya adalah menjadi badut. Bukankah saya ini badut?

Kursi benar-benar membahayakan dibanding Dinosaurus. Sampai-sampai Nabi Sulaiman saja terpaksa mendapat giliran terakhir antrean masuk sorga diantara para Rasul lainnya gara-gara direpoti oleh urusan kursi kerajaannya.

Maka seorang penulis dizaman Nabi Sulaiman a.s, menulis artikel disebuah media yang cukup popular ketika itu:
‘Kalau kursi yang kau duduki itu kau anggap sebagai kekuasaan, dan bukan tugas pelayanan kerumahtanggaan bersama, maka tunggu saatnya kau akan dikalahkan oleh si kursi. Kalau kursi itu kau anggap sebagai keunggulan, dan bukan sebagai tanggung jawab yang dititipkan, maka kepribadianmu akan digerogoti oleh si kursi sampai keropos. Kalau kursi itu kau perlakukan sebagai kekuatan, dan bukan amanat yang dibebankan, maka nanti kau akan ambruk dicampakkan oleh si kursi.”

“Kursi jangan dibangga-banggakan, karena ia lebih merupakan ancaman terhadap kelemahanmu. Kursi melahirkan getaran yang bisa merusak syaraf matamu sehingga makin lama semakin tidak terfokus melihat setiap permasalahan. Kursi diam-diam melontarkan frekuensi yang bisa meretakkan gendang telingamu sehingga kau semakin sukar mendengarkan. Kursi membuatmu jadi pikun dan pelupa….”

Macam-macam lagi yang ditulis dalam artikel itu. Teman saya, yang nasibnya terancam karena didaulat jadi Lurah itu, minta fotokopinya.
“Apa salahnya sih jadi Lurah?” saya coba menumbuhkan keyakinannya, “Kan itu bagus. Bisa menjadi medan perjuanganmu untuk mewujudkan cintamu kepada rakyat kecil!”
“Ya”, jawabnya, “Tapi saya ini lemah….”
Dia bercerita bahwa semula alasan dia menolak adalah bahwa dia tak mau bersaing untuk menjadi Lurah, karena pada dasarnya dia memang tidak berani dan tidak suka menjadi Lurah. Dipikirnya ini adalah alasan yang sangat kuat untuk menghindarkan ancaman nasib itu. Tapi ternyata semua penduduk kompak untuk menetapkan dirinya menjadi satu-satunya calon tunggal lurah. Mampus dia..
Emha Ainun Najib : Titik Nadir Demokrasi (Kesunyian Manusia Dalam Negara) penerbit : Zaituna 1996

Syair Tukang bakso

Sebuah pengajian yang amat khusyuk di sebuah masjid kaum terpelajar, malam itu, mendadak terganggu oleh suara dari seorang tukang bakso yang membunyikan piring dengan sendoknya.

Pak Ustad sedang menerangkan makna khauf, tapi bunyi ting-ting-ting-ting yang berulang-ulang itu sungguh mengganggu konsentrasi anak-anak muda calon ulil albab yang pikirannya sedang bekerja keras.

"Apakah ia berpikir bahwa kita berkumpul di masjid ini untuk berpesta bakso!" gerutu seseorang.

"Bukan sekali dua kali ini dia mengacau!" tambah lainnya, dan disambung -- "Ya, ya, betul!"

"Jangan marah ikhwan," seseorang berusaha meredakan kegelisahan, "ia sekedar mencari makan ..."

"Ia tak punya imajinasi terhadap apa yang kita lakukan!" potong seseorang yang lain lagi.

"Jangan-jangan sengaja ia berbuat begitu! Jangan-jangan ia minan-nashara!" sebuah suara keras.

Tapi sebelum takmir masjid bertindak sesuatu, terdengar suara Pak Ustad juga mengeras: "Khauf, rasa takut, ada beribu-ribu maknanya. Manusia belum akan mencapai khauf ilallah selama ia masih takut kepada hal-hal kecil dalam hidupnya. Allah itu Mahabesar, maka barangsiapa takut hanya kepada-Nya, yang lain-lain menjadi kecil adanya."

"Tak usah menghitung dulu ketakutan terhadap kekuasaan sebuah rezim atau peluru militerisme politik. Cobalah berhitung dulu dengan tukang bakso. Beranikah Anda semua, kaum terpelajar yang tinggi derajatnya di mata masyarakat, beranikah Anda menjadi tukang bakso? Anda tidak takut menjadi sarjana, memperoleh pekerjaan dengan gaji besar, memasuki rumah tangga dengan rumah dan mobil yang bergengsi: tapi tidak takutkah Anda untuk menjadi tukang bakso? Yakni kalau pada suatu saat kelak pada Anda tak ada jalan lain dalam hidup ini kecuali menjadi tukang bakso? Cobalah wawancarai hati Anda sekarang ini, takutkah atau tidak?"

"Ingatlah bahwa tak seorang tukang bakso pun pernah takut menjadi tukang bakso. Apakah Anda merasa lebih pemberani dibanding tukang bakso? Karena pasti para tukang bakso memiliki keberanian juga untuk menjadi sarjana dan orang besar seperti Anda semua."

Suasana menjadi senyap. Suara ting-ting-ting-ting dari jalan di sisi halaman masjid menusuk-nusuk hati para peserta pengajian.

"Kita memerlukan baca istighfar lebih dari seribu kali dalam sehari," Pak Ustad melanjutkan, "karena kita masih tergolong orang-orang yang ditawan oleh rasa takut terhadap apa yang kita anggap derajat rendah, takut tak memperoleh pekerjaan di sebuah kantor, takut miskin, takut tak punya jabatan, takut tak bisa menghibur istri dan mertua, dan kelak takut dipecat, takut tak naik pangkat... masya Allah, sungguh kita masih termasuk golongan orang-orang yang belum sanggup menomorsatukan Allah!"

--------------

Diambil dari kumpulan prosa dan puisi oleh Emha Ainun Nadjib, 1987: Seribu
Masjid Satu Jumlahnya, tahajjud cinta seorang hamba, Penerbit Mizan, Bandung.