Seorang teman dekat saya sedang pusing kepala dan stress cukup serius karena didaulat oleh rakyat agar ia menjadi Lurah.
Selama satu dua tahun belakangan ini kalau keluarga atau orang sedusunnya omong tentang kemungkinan ia jadi Lurah, ia menjawab ringan-ringan saja. Ia memberi alasan sekenanya saja untuk menolak. Karena toh, pikirnya, himbauan itu hanya romantisme kaum minoritas di desanya yang masih sempat menggagas bahwa sebuah desa sebaiknya dipimpin bukan oleh seorang penjahat.
Diam-diam sebenarnya ia tidak percaya diri. Mana mungkin manusia semacam dia dimpi-impikan orang untuk menjadi pemimpin. Juga siapa bilang menempuh proses untuk menjadi Lurah itu gampang. Harus ada modal besar dan menyiapkan sejumlah upeti feodalisme modern dalam konstelasinya. Toh rakyat pada umumnya, menurut pandangan dia, juga sudah bersikap apatis. Siapapun yang jadi lurah, mau kadal, mau kodok, mau pencopet, biar saja.
Disamping itu tak bisa dia membayangkan dirinya menjadi lurah. Bagaimana nanti. Harus pakai sepatu dan baju safari yang begituan itu kalau rapat di tempat Pak camat. Sedangkan dia mandi saja ogah-ogahan. Lantas nanti harus patuh pada konspirasi di tingkat itu: mungkin sesama Lurah, Camat, orang Koramil, Polsek dan Babinsa. Konspirasi yang selalu sudah otomatis mentradisikan kolusi-kolusi perdagangan yang modal utamanya adalah kekuasaan.
Teman saya ini bukan tidak mau kaya. Tapi untuk meladeni impian hidup ya tidak harus segitu-gitunya. Masak mau hidup enak saja pakai repot-repot memperbodoh rakyat, melakukan kejahatan-kejahatan kolektif-birokratis, menyakiti orang kecil, melanggar moral dan falsafah Negara dan lain sebagainya. Apa kalau sudah begitu lantas dia bisa makan lebih dari satu setengah piring, dan nasi rasanya menjadi seperti makanan kayak apa gitu.
Hidup Cuma sekali kok begitu repotnya. Manusia memang aneh-aneh dan kurang logis. Bilangnya beragama, tapi sibuknya membangun dunia. Membangun itu ya Akhirat dong. Dunia ini hanya perangkatnya, hanya fasilitas produksinya, tapi bukan produknya. Wong oleh Tuhan mau dikasih hidup abadi, malah memilih beberapa puluh tahun. Itu kan Cuma kalahmin bil-bashar, hanya sekedipan mata.
Dikasih kebesaran, malah ambil kekerdilan. Dikasih kelanggengan, malah bernafsu sama kesementaraan. Lha wong sorga itu indah dan mewahnya bukan main, kok malah gugup membangun dunia dalam gagasan bahwa dunia ini final dari segala-galanya. Yang dibangun juga yang enggak-enggak: sukses, frustasi,karya bermutu tinggi, nama baik, popularitas, kepahlawanan dalam sejarah. Emangnya buku sejarah akan berapa usianya. Manusia memang “GR”. Selalu merasa mampu berbuat yang hebat-hebat, seolah-olah kuku di jari-jarinya ia sendiri yang menumbuhkannya.
Yang lain malah membangun gedung-gedung dan pabrik yang merusak bumi, menyesakkan napas, memperbanyak virus, memperkembangkan penyakit, menumpuk kebingungan-kebingungan, hanya supaya bisa menjual obat anti bingung dan pil untuk melarikan diri dari kebingungan.
Sampai-sampai sekarang muncul sejenis serangga di ujung timur Jawa Timur, yang merupakan “produk kosmo genekologis” sampingan dari pengolahan nuklir. Serangga kecil itu, bagaimana virus macam HIV sebelumnya, tak akan bisa diberantas oleh teknologi kedokteran modern, dan yang dari Jatim itu akan bisa menghancurkan dunia. Ada terapi penumpasannya: ialah sesuatu yang akan anda tertawakan dan tidak dipercaya oleh kebanyakan orang, terutama yang hidup di kota-kota besar.
Alhasil manusia ini pinternya menyelenggarakan kerusakan, perusakan tatanan, penyakit, kebingungan, dan akhirnya benar-benar kerepotan sendiri.
Padahal hidup kan sederhana banget. Kebutuhan makan ya cuma segitu. Pakaian juga tak bisa rangkap-rangkap, kecuali orang sinting. Tempat tidur kan bisa apa saja, karena toh kalau sudah sangat mengantuk, tak bisa lagi dibedakan mana kasur mana tikar. Juga rumah. Kenapa harus mewah. Apa rumah bisa dikulum kayak permen. Anak-anak kita, kalau kita pandang wajah mereka, biar kita miskin atau kaya, ya tetap menyenangkan juga. Istri juga begitu. Biar cuma satu, tapi rasanya tetap enak juga. Cari yang lain-lain, ternyata ya mirip-mirip saja.
Lha kalau teman saya itu nanti benar-benar jadi Lurah, apa dia bisa hidup dengan pandangan tetap seperti itu. Kalau tak ikut menipu rakyat, apa nanti tidak dikucilkan. Kalau ikut, dia tidak canggih dalam hal kejahatan. Dia termasuk bodoh, tidak seperti kebanyakan penguasa. Teman saya itu dulu punya teman yang jadi Lurah, ikut kolusi sana-sini, lantas ketahuan-dan dia yang “disembelih” untuk jadi kambing hitam. Dia dipecat. Sekarang dia bertransmigrasi ke Kalimantan, membina hidup baru.
Jadi, bagi teman saya ini, tak ada hal yang lebih mengerikan di muka bumi ini dibanding menjadi Lurah. Tentu saja menjadi Menteri jauh lebih mengerikan, karena kekuasaan seorang Menteri bisa dipakai untuk ngakali banyak hal, mensiasati masalah-masalah, memanipulasikan kasus-kasus, mengarsiteki kejahatan sehingga menjadi berbentuk kebenaran dan dilihat orang banyak seolah-olah sungguh-sungguh kebenaran.
Kalau perlu carilah dukun, minta mantra-mantra bagaimana cara supaya tidak jadi Menteri. Soalnya kita ini orang lemah. Kita tahu diri. Seandainya kita ini manusia ma’shum (terjaga oleh Malaikat), kukuh dalam akhlakul karimah, tegak idealismenya, zuhud, dan Istiqomah-bolehlah kita sok-sok berambisi menjadi Menteri. Seandainya syahadat kita ini serius, shalat kita ini bener-bener, haji kita bukan karena mematuhi domino petunjuk dari yang teratas-ayolah “berusaha” menjadi menteri.
Tapi kalu tidak, meskipun wajah kita alim, sudah haji beberapa kali, nama kita pakai unsur Allah atau agama- misalnya Saifullah atau Brakoddin – tak usahlah terlalu mantap jadi Menteri. Jadi Menteri bukan prestasi, melainkan beban. Menjadi pejabat bukan reputasi melainkan amanat. Menjadi penguasa tidak otomatis merupakan rizki hidup, kecuali kalau kita tidak percaya kepada Tuhan dan Akhirat, lantas semua hasil kejahatan hidup kita bisa bawa ke kehidupan abadi yang kita selenggarakan sendiri dan kita bebaskan dari kekuasaan Tuhan.
Mokal-mokal memang kita semua ini. Kursi kok dicari-cari. Jabatan kok dimpi-impikan. Kedudukan kok dianggap lambang prestasi. Padahal sudah jelas uang sepuluh ribu rupiah saja punya kesanggupan untuk memperbudak manusia. Mana ada manusia yang mampu memperbudak uang?
Sedangkan dengan kursi, apalagi yang tinggi banget seperti yang diduduki oleh seseorang sehingga ia disebut Menteri - Anda bisa memproduksi keuntungan dan uang sangat banyak. Kursi memang jenis makhluk langka yang ajaib. Wong terbuat dari kayu, atau paling jauh logam – kok bisa beranak uang banyak. Lha wong kambing saja, yang merupakan makhluk bernyawa, hanya mampu beranak kambing. Jin pun hanya mampu beranak jin. Lha kok kursi yang tak bernyawa bisa memperanakkan macam-macam.
Makanya kalau jiwa belum muthmainnah dan mental belum zuhud, jangan bergaul dekat-dekat dengan kursi.
Kursi itu lebih sakti dibanding raja, ulama, jago kebatinan, intelektual, budayawan atau apapun. Raja yang aslinya sebagai manusia sangat baik dan santun, karena kelamaan bergaul dengan kursi bisa berubah menjadi monster. Ulama yang mahfudh, yang terpelihara jiwa dan perilakunya, gara-gara terpikat oleh gaya magis kursi, mripatnya bisa buta sebelah, sehingga ayat-ayat Tuhan yang bisa dilihatnya juga hanya bagian-bagian yang kondusif terhadap kepentingan kursi. Jago kebatinan kalau banyak-banyak bau kursi bisa menjelma jadi orang yang sibuk membatini kejagoan saja. Intelektual lebih asyik lagi: karena terkena sawab (tak pakai Mahasin) kursi, kalkulator di otaknya menjadi error atau mengalami “illegal operation” kalau pakai istilah Bill Gate – sehingga 4 x 4 = nunggu petunjuk dulu. Kalau budayawan, kayak saya ini, jelas: puncak prestasinya adalah menjadi badut. Bukankah saya ini badut?
Kursi benar-benar membahayakan dibanding Dinosaurus. Sampai-sampai Nabi Sulaiman saja terpaksa mendapat giliran terakhir antrean masuk sorga diantara para Rasul lainnya gara-gara direpoti oleh urusan kursi kerajaannya.
Maka seorang penulis dizaman Nabi Sulaiman a.s, menulis artikel disebuah media yang cukup popular ketika itu:
‘Kalau kursi yang kau duduki itu kau anggap sebagai kekuasaan, dan bukan tugas pelayanan kerumahtanggaan bersama, maka tunggu saatnya kau akan dikalahkan oleh si kursi. Kalau kursi itu kau anggap sebagai keunggulan, dan bukan sebagai tanggung jawab yang dititipkan, maka kepribadianmu akan digerogoti oleh si kursi sampai keropos. Kalau kursi itu kau perlakukan sebagai kekuatan, dan bukan amanat yang dibebankan, maka nanti kau akan ambruk dicampakkan oleh si kursi.”
“Kursi jangan dibangga-banggakan, karena ia lebih merupakan ancaman terhadap kelemahanmu. Kursi melahirkan getaran yang bisa merusak syaraf matamu sehingga makin lama semakin tidak terfokus melihat setiap permasalahan. Kursi diam-diam melontarkan frekuensi yang bisa meretakkan gendang telingamu sehingga kau semakin sukar mendengarkan. Kursi membuatmu jadi pikun dan pelupa….”
Macam-macam lagi yang ditulis dalam artikel itu. Teman saya, yang nasibnya terancam karena didaulat jadi Lurah itu, minta fotokopinya.
“Apa salahnya sih jadi Lurah?” saya coba menumbuhkan keyakinannya, “Kan itu bagus. Bisa menjadi medan perjuanganmu untuk mewujudkan cintamu kepada rakyat kecil!”
“Ya”, jawabnya, “Tapi saya ini lemah….”
Dia bercerita bahwa semula alasan dia menolak adalah bahwa dia tak mau bersaing untuk menjadi Lurah, karena pada dasarnya dia memang tidak berani dan tidak suka menjadi Lurah. Dipikirnya ini adalah alasan yang sangat kuat untuk menghindarkan ancaman nasib itu. Tapi ternyata semua penduduk kompak untuk menetapkan dirinya menjadi satu-satunya calon tunggal lurah. Mampus dia..
Emha Ainun Najib : Titik Nadir Demokrasi (Kesunyian Manusia Dalam Negara) penerbit : Zaituna 1996
No comments:
Post a Comment