Menegakkan Cinta | Meruku'kan Jiwa | Mensujudkan Hati
Trio Bomber, Surga atau Neraka?:
Hanya Sebuah Anekdot
Oleh Irwan Masduqi
Tatkala hari hisab tiba, manusia yang tak terhitung jumlahnya rela antri panjang di depan pintu surga dan neraka. Jantung mereka berdebar dan berdetak tak karuan menunggu hasil penghitungan amal. Malaikat yang sedang bertugas memanggil mereka satu persatu sambil menenteng buku catatan amal.
Dengan suara keras, malaikat memanggil nama Imam Abu Hanifah untuk dihisab. Dengan mudah Abu Hanifah lolos masuk surga karena di dunia beliau tak menyia-nyiakan “akal”-nya untuk berijtihad memahami agama Islam secara rasional. Di surga, Abu Hanifah berkumpul dengan Umar bin Khatab. Umar bin Khathab adalah kolega nabi yang sangat rasional yang mensyukuri nikmat akal dengan cara berpikir. Umar bin Khathab senantiasa memahami al-Quran dengan pendekatan kontekstual- hermeneutis.
Giliran kedua adalah Tulkiyem, pelacur Sarkem (Pasar Kembang) Yogyakarta . Tak terduga, Tulkiyem juga masuk surga. Malaikat bilang, “dia masuk surga karena dia melacur tidak hendak melawan agama dan Allah, dia melacur karena melawan nasib hidupnya demi sesuap nasi dan membelikan susu buat anaknya. Yang masuk neraka justru orang-orang kaya, penguasa, dan agamawan yang tak punya kepedulian serta kepekaan sosial. Mereka tak memberi lahan perkerjaan dan pembinaan kepada para pelacur”.
Giliran ketiga adalah si Dul, mahasiswa al-Azhar Cairo . Sungguh mengejutkan, dia masuk neraka. Sayang sekali. Malaikat berkata, “dia masuk neraka karena menipu orang tuanya. Orang tuanya susah payah menguras keringan mengumpulkan uang recehan untuk membiayai si Dul di Cairo. E…e…eeeee si Dul malah malas-malasan tak mau belajar. Dia menipu dan mendurhakai orang tuanya. Dia itu mahasiswa goblok, tak pernah membaca buku, tapi sukanya mencibir dan meremehkan teman-temannya yang mengembangkan kritisisme”.
Amrozi cs sudah tidak sabar menunggu giliran hisab. Sambil pegang-pegang jenggot, mereka kelihatan penuh optimisme bisa masuk surga. Orang-orang di sekitar mereka pun bertanya, “kenapa kalian tak takut menghadapi hisab”?
Amrozi cs menjawab, “siapa takut? kami sudah membawa tiket surga. Kalau kalian ingin beli tiket surga, bergabung saja dengan orang-orang Islam radikal. Mereka jual obralan tiket”.
Dus, giliran keempat adalah Amrozi cs. Hisab berlangsung alot. Saat itu terjadi perdebatan sengit antara Amrozi cs dengan malaikat. Malaikat bilang, “tiket surga kalian tidak ada gunanya alias muspro”. Tapi Amrozi cs memaksa dimasukkan ke surga dengan dalih telah susah payah ikut program “bombing training” guna menghancurkan tempat-tempat maksiat. Abdul Aziz alias Imam Samudra, dengan mata tajamnya, tak sungkan memelototi malaikat sembari teriak kencang Allahu Akbar. Sementara Amrozi dan Ali Gufron alias Mukhlash cengar-cengir bingung tujuh keliling mendengar kata-kata malaikat tadi sambil memutar tasbih.
Malaikat bertanya, “kenapa kalian melakukan teror”? Dengan diplomatis Amrozi cs menjawab, “kami ingin mengamalkan hadits amar ma’ruf nahi munkar bil yad. ‘Yad’ artinya adalah kekerasan dengan bom”.
Hahaha, malaikat ketawa terbahak-bahak mendengar jawaban konyol Amrozi cs. Sambil menahan ketawa, malaikat menjawab balik, “yang boleh amar ma’ruf nahi munkar dengan cara merusak fasilitas umum itu hanya pemerintah, kalau warga sipil tak boleh dengan cara itu. Heh dasar kalian sok pahlawan jadi polisi swasta!!!”.
Amrozi cs dengan nada lirih dan agak sedikit grogi bertanya, “masak sih”? Malaikat menjawab sambil senyum, “ya iyalah… masak ya iya dong. Mulan aja namanya diganti Mulan Jamilah, bukan Mulan Jamidong… duren aja dibelah, bukan dibedong”. Malaikat kemudian berargumen, “Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din pernah berkata bahwa umat Islam dalam amar ma’ruf nahi munkar tidak boleh disertai perusakan harta orang lain. Imam al-Ghazali memberi contoh yang prosedural dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar kepada para peminum khamr dan penjual MIRAS (Minuman Keras). Dalam konteks ini, khomr/MIRAS boleh ditumpahkan (iraqatul khamri), tetapi botolnya tak boleh dipecah, karena botol adalah harta halal milik penjual dan peminum. Dengan demikian, tindakan teror kalian (baca: Amrozi cs) yang destruktif dengan merusak fasilitas umum (harta orang lain) dan juga tindakan brutal FPI tidak dapat dibenarkan karena tidak sesuai prosedur. Tindakan itu justru merusak citra Islam, tahu!!!”.
Amrozi cs tetap ngotot dan ngeyel agar dimasukkan ke surga. Mereka berdalih, “pokoknya kami harus dimasukkan ke surga (yang konon banyak bidadari yang cantik itu), karena kami telah memerangi orang-orang kafir (antek Amerika dan thaghut) di Bali seperti yang diperintahkan Allah yang berbunyi faqtulu al-musyrikina kaffah…faqtulu al-musyikin haytsu wajadtumuhum/ tsaqiftumuhum ….faqtuluhum hatta latakuna fitnah (bunuhlah semua orang musyrik…di mana pun kalian berjumpa dengan mereka…bunuhlah mereka hingga tak ada fitnah)”. Amrozi cs berargumen bahwa “ayat-ayat itu menurut satu versi dalam tafsir al-Qurthubi menusakh dan mengamandemen ayat-ayat yang turun sebelumnya tentang anjuran mengampuni orang kafir dan jihad defensif terbatas dari agresi musyrikin, sehingga kesimpulan Amrozi cs jihad adalah ofensif”.
Kwakakakaka, malaikat tertawa terbahak-bahak untuk kedua kalinya mendengar jawaban Amrozi cs yang konyol itu. Karena penasaran, malaikat mendatangkan Imam al-Qurthubi untuk dimintai klarifikasi dan keterangan lebih lanjut. Malaikat bertanya, “wahai Imam al-Qurthubi benarkah dalam tafsirmu ada konsep jihad ofensif”? Imam al-Qurthubi menjawab, “dalam tafsir, saya memang mengutarakan dua pendapat; antara ‘versi tekstual pro nasikh-mansukh yang menyimpulkan jihad ofensif’ dan ‘versi kontekstual kontra nasikh-mansukh yang menyimpulkan jihad defensif’”. Coba dech malaikat Anda rujuk dalam Tafsîr al-Qurthûbi, cetakan Dar al-Sya‘bi, vol. II, h. 71, vol. I, h. 62, vol. XVII, h. 203, & vol. XIX, h. 149, vol. II, h. 347, vol. II, h. 35 & vol. V, h. 281, vol. III, h. 216, vol. II, h. 192 & 353”. “Sial, Amrozi cs berarti memilih jihad ofensif dengan mencari justifikasi dari penafsiran yang tekstual”, keluh malaikat. Malaikat memperingatkan, “penafsiran tekstual itu reduktif dan rawan menimbulkan stigma bahwa Islam adalah agama pedang, agama bom, dan agama kekerasan, seperti stigma negatif kalangan mainstream Barat. Andaikan nasikh-manskuh kalian terapkan dalam ayat-ayat jihad yang sejatinya turun secara gradual, sama saja kalian menganggap sebagian ayat al-Quran yang turun pada fase-fase awal sebagai ayat impoten dan tak punya fungsi sosial untuk konteks kekinian. Nah, para pemikir Islam yang kritis dan progresif yang berdiri di barisan antrian hanya mangguk-mangguk menyetujui statemen malaikat tadi.
Amrozi cs berapologi, “oke dech, ijtihad kami memang salah, tapi—seperti kata Rasulullah saw—kami tetap berhak mendapatkan pahala satu (man akhtha`a falahu ajrun wahidun). Malaikat menimpali, “kalian memang mendapatkan pahala satu, tapi pahala itu belum mencukupi untuk dijadikan modal masuk surga. Pahala kalian yang satu itu tak seberapa jika dibandingkan dengan dosa kalian akibat membunuh orang-orang Bali dan wisatawan legal yang telah mendapat jaminan keamanan dari negara. Ingat itu wahai teroris yang berjubah!!!. Maukah kalian aku masukkan ke neraka”?
Amrozi cs, yang kali ini diwakili oleh Ali Gufron, mengutarakan keberatan. Dengan lantang ia berkilah, “kami tidak bermaksud membunuh orang tak berdosa, kami hanya ingin memerangi kemungkaran. Selain itu, kami juga sudah dieksekusi sebagai balasan perbuatan kami, meski kami sebenarnya tak rela dengan eksekusi itu”. “Iya, tapi cara amar ma’ruf nahi munkar kalian, seperti saya katakan tadi, tidak prosedural”, tegas malaikat. Malaikat diam sejenak mempertimbangkan matang-matang. Amrozi cs pun menunggu keputusan malaikat sambil pegang-pegang jenggot lagi.
Malaikat meneruskan hisabnya, “tadi kalian bilang bahwa kalian tidak rela dengan eksekusi itu, itu tandanya kalian tidak ikhlas menerima hukum qishash yang sudah disyariatkan Allah. Dengan demikian dosa kalian belum dihapus dan diampuni. Sudahlah kalian aku masukkan ke neraka saja ya”?
Imam Samudra keberatan, “please malaikat, kami sudah dieksekusi, masak mau dihukum lagi dengan diceburkan ke neraka”?. Malaikat geleng-geleng kepala, “kalian memang bandel, sudah aku katakan kalau eksekusi itu belum bisa menghapus dosa kalian, karena kalian tidak ikhlas menerima hukuman itu”. Imam Samudra berkilah lagi, “buktinya apa kalau kami tidak ikhlas”?
Malaikat dengan mudah menemukan bukti di google.com (http://news. okezone.com/ index.php/ ReadStory/ 2008/11/05/ 1/161021/ polri-bantah- tangkap-pembuat- situs-wasiat- amrozi-cs) yang memuat wasiat profokatif Amrozi cs bahwa “dalam surat wasiat tersebut, mereka menyerukan agar para pendukung memerangi dan membunuh pihak terkait eksekusi mati, seperti Presiden SBY, Wapres Jusuf Kalla, Menkum HAM Andi Mattalata, Jaksa Agung Hendarman Supandji, Jampidum AH Ritonga, dan Ketum PBNU Hasyim Muzadi”. Malaikat dengan tegas menvonis, “Jadi kalian harus aku masukkan ke neraka dengan dalih berlapis: 1) tindakan teror bom bali; 2) tidak ikhlas menerima hukuman eksekusi; 3) menyebarkan wasiat yang profokatif dan berisi pemberontakan terhadap pemerintah”.
Amrozi cs masih berkilah, “pengeboman dan wasiat itu tidak bermaksud untuk macam-macam, semua itu kami lakukan hanya demi tujuan memerangi maksiat dan jihad”. Malaikat pun menjawab dengan analogis-argumentat if, “oke jika demikian alasan kalian, maka kalian akan aku masukkan ke dalam ‘tong’ kemudian aku tendang ‘tong’ itu agar menggelinding masuk ke jurang neraka. Aku tak bermaksud memasukkan kalian ke neraka, tapi aku hanya bertujuan memasukkan ‘tong’ ke neraka sebagai tambahan bahan bakar neraka”. Amrozi pun akhirnya tak berdaya dan menyesali perbuatannya di dunia.
“saya sangat kecewa dan memprotes keras mengapa Bapak bersikap sedemikian lunak kepada orang-orang yang datang kekuburan untuk minta angka-angka buntutan!” ia menuding-nuding. “Itu jelas syirik. Saya sebagai warga organisasi Islam yang sejak kelahirannya memang bermaksud memberantas segala takhayul, bid’ah, khurafat, dan syirik, akan terus memberantas gejala-gejala semacam itu dalam masayarakat kita sampai titik darah penghabisan!”
Bapak ustadz terkesima.
Isi pemikiran pemuda itu aneh, meskipun bukan tidak menggelisahkan. Namun “semangat juangnya”-nya ini! Apakah ia baru saja membaca sajak Cjairil Anwar “AKU” atau “Persetujuan dengan Bung Karno” sehingga voltase darahnya meninggi? Tapi marilah bersyukur. Ini yang namanya sukses pewarisan nilai dan semangat perjuangan dari kader yang satu ke kader generasi yang lain. Prosporsi di mana dan untuk soal macam apa semangat itu mesti diterapkan, adalah soal kedua.
“Adik manis, maafkan kalau saya memang khilaf,” bapak ustadz berkata dengan lembut,” Tetapi sesungguhnya aspirasi kita tidak terlampau berbeda. Saya juga bermaksud tidak menularkan kebiasaan orang-orang tua untuk bersifat terlalu dingin terhadap gejala-gejala itu. Tetapi nyuwun sewu, saya melihat ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pernyataan anda tadi ibarat memasukkan sambal ke dalam es dawet…”
Para jamaah tertawa, meskipun pasti mereka belum mengerti maksudnya.
“Syirik ya syirik, tapi orang masuk kuburan kan macam-macam maunya. Ada yang mau mencuri tengkorak, ada yang sembunyi dari tagihan rentenir, ada yang sekedar menyepi karena pusing bertengkar terus dengan istrinya yang selalu meminta barang-barang seperti yang dibeli tetangganya. Terus terang saya juga sering masuk kuburan dan nyelempit di balik gerumbul-gerumbul karena sangat jenuh oleh acara macam yang kita selenggarakan malam ini, jenuh diundang kesana kemari untuk sesuatu yang sebenarnya tidak jelas. Jenuh meladeni pertanyaan-pertanyaan yang khas kaum muslimin abad ke-20 dari soal ‘apa hukum merangkul rambut’ sampai memandang wanita itu zina atau tidak’, atau jenuh oleh pikiran-pikiran puber yang akrobat pikiran intelektualnya over dosis. Kejenuhan itu sendiri sunnatullah atau hukum alam. Tuhan mengijinkan kita untuk merasa jenuh pada saat tertentu sebagai bagian dari peran kemanusiaan. Apakah buang jenuh di kuburan itu syirik?”
“Bukan itu maksud saya!” teriak sang pemuda, “Saya berbicara tentang orang yang meminta-minta di kuburan.”
“Baiklah,” lanjut bapak ustadz. “Syirik itu letaknya di hati dan sikap jiwa, tidak dikuburan atau di kantor pemerintah. Sebaiknya kita jangan gemampang, jangan terlalu memudahkan persoalan atau gampang menuduh orang. Saya terharu anda bersedia memerangi syirik sampai titik darah penghabisan, namun saya juga prihatin menyaksikan Anda bersikap begitu sombong kepada orang miskin…”
“Apa maksud bapak?” sang pemuda memotong.
“Bikinlah proposal untuk minta biaya meneliti siapa saja sebenarnya yang suka mendatangi kuburan, terutama yang menyangkut tingkat perekonomian mereka. Kita memang tahu para pejabat suka berdukun ria dan para pengusaha mendaki Gunung Kawi, tapi siapakah umumnya yang berurusan dengan kuburan untuk menggali harapan penghidupan? Saya berani jamin kepada Anda bahwa 90% pelanggan kuburan adalah orang-orang yang kehidupan ekonominya kepepet. Orang seperti anda ini saya perhitungkan tidak memerlukan kuburan karena wesel dari orang tua cukup lancar. Disamping itu syukurilah posisi sosial anda. Anda termasuk diantara sedikit anak-anak rakyat yang beruntung, memiliki peluang ekonomi untuk bisa bersekolah sampai perguruan tinggi. Karena anda sekolah sampai perguruan tinggi maka anda menjadi pandai dan mampu mengelola kehidupan secara lebih rasional. Harapan anda untuk menjadi pelanggan kuburan termasuk amat kecil. Anda akan menang bersaing meniti karier melawan para tamatan sekolah menegah, para DO atau apalagi para non-sekolah. Kalaupun kemudian menjumpai persoalan-persoalan umum yang menyangkut ketidakadilan ekonomi, misalnya, Anda bukan merencanakan berkunjung ke makam Sunan Beginjil, melainkan bikin kelompok diskusi yang memperbincangkan kepincangan ekonomi dan kemapanan kekuasaan politik…”
Seperti air bah kata-kata bapak ustadz kita meluncur.
“Kalaupun anda ogah terlibat bekerja dalam jajaran birokarsi kekuasaan atau tempat-tempat lain yang anda perhitungkan secara sistematik mendukung kemapanan itu, anda masih mempunyai peluang non-kuburan, misalnya, bikin badan swadaya masyarakat. Langkah pertama dari gerakan ketidaktergantungan itu ialah merintis ketergantungan terhadap dana luar negeri dimana anda bisa numpang makan, minum, merokok, dan memberi celana baru. Langkah kedua, menigkatkan kreativitas proposal agar secara pasti anda bisa memperoleh nafkah dari gerakan itu. Dan langkah ketiga, menyusun kecanggihan lembaga anda sedemikian rupa sehingga anda sungguh-sungguh bisa mengakumulasikan kekayaan, bikin rumah, beli mobil, dan memapankan deposito. Juklak saya untuk itu adalah umumkan ide-ide sosialisme perekonomian sebagai komoditi kapitalisme perusahaan swadaya masyarakat Anda. Kemiskinan adalah ekspor non-migas yang subur bagi kelompok pembebas rakyat di mana anda bisa bergabung…”
Bapak ustadz kita sudah tidak tebendung lagi.
“Dengan demikian anda bisa selamat dari budaya kuburan sampai akhir hayat. Hal-hal semacam itu tidak bisa dilakukan oleh orang-orang miskin yang hendak Anda berantas syiriknya itu. Mereka tak mampu membuat proposal, takut kepada Camat dan Babinsa, karena bagi mereka lebih mengerikan dibandingkan dengan hantu-hantu kuburan. Satu-stunya kesanggupan revolisioner yang masih tersisa pada orang kecil yang melarat adalah minta harapan secara gratis ke kuburan.”
Suasana pengajian menjadi semakin senyap.
“Bapak ini ngomong apa?” potong sang pemuda lagi.
“Kepada siapa dan apa sajakah Allah Cemburu pada zaman ini? Siapakah atau apakah yang di tuhankan orang di negeri Anda ini? Apa yang didambakanorang melebihi Tuhan? Apa yang sedemikian menghimpit memojokkan menindih orang seolah-olah berkekuatan melebihi Tuhan? Apa dan siapa yang mendorong orang tunduk, patuh, dan loyal sepenuh hidup kepadanya melebihi Tuhan? Apa yang memenuhi pikiran orang, memenuhi perasaan dan impian orang lebih dari keindahan /tuhan? Lihatlah itu, pikiran sosial Anda, pikiran politik Anda, pikiran ekonomi anda, perhitungan struktural Anda…”
Suara bapak ustadz kita menjadi agak gemetar meskipun nadanya meninggi.
“Beranikah Anda berangkat memberantas syirik-syirik besar yang dilatari oleh kekuasaan, senjata, dan fasilitas? Beranikah anda berperang melawan diri Anda sendiri untuk mengurangi sikap gemagah kepada orang-orang lemah? Sanggupkah Anda mengalahkan obsesi kehidupan Anda sendiri untuk merintis peperangan-peperangan yang sedikit punya harga diri?”
Napas mulai agak-agak ersenggal-senggal.
“Anda begitu bangga menjadi satpam kehidupan orang lain. Bahkan anda tampak bermaksud menjadi maha satpam yang memberantas syirik sampai titik darah yang terakhir. Tetapi anda menodongkan laras senjata Anda ke tubuh semut-semut yang terancam oleh badai api sehingga menyingkir ke kuburan kecil. Itu karena mata pengetahuan anda tak pernah di cuci kecuali oleh ulama-ulama yang memonopoli kompetisi pemikiran keagamaan, padahal mereka begitu pemalas mencuci mata umatnya, kecuali untuk soal-soal yang menyangkut kepentingan posisi mereka. Anda sudah tahu wajib, sunnat, halal, makruh, dan haram, tetapi itu hanya diterapkan untuk hal-hal yang wantah. Anda hanya bertanya orang sudah sholat Isya atau belum, orang ke kuburan atau tidak, si keponakan sudah pakai jilbab atau belum. Anda tidak merintis penerapan kualifikasi hukum lima itu untuk persoalan-persoalan yang lebih luas. Anda tidak pernah mempersoalkan bagaimana sejarah politik perekonomian dari tikar plastik yang setiap hari anda pakai sembahyang. Anda marah kenapa Cristine hakim tidak pakai jilbab padahal ia muslimah, tetapi telinga anda tuli terhadap kasus penggusuran, terhadap proses pembodohan lewat jaringan depolitiasi, terhadap proses pemiskinan, terhdap ketidakadilan sosial yang luas. Anda tidak belajar tahu apa saja soal-soal yang kualitasnya wajib dalam perhitungan makro struktural. Anda hanya sibuk mengincar orang masuk kuburan. Anda merepotkan diri mengurusi sunnah-sunnah dan tidak acuh terhdap kasus-kasus yang wajib respon sifatnya…”
“Pak! Mengapa jadi sejauh itu…?” sahut sang pemuda.
“Dengar dulu, anak muda!” tegang wajah sang bapak. “Itu yang menyebabkan anda tidak memiliki perhitungan yang menyeluruh untuk akhirnya menemukan hakekat kasus syirik yang sebenarnya. Anda hanya sanggup melihat seorang mencuri. Anda hanya tahu bahwa mencuri itu hukumnya haram, padahal melalui relativitas konstek-konteks, pencuri itu bisa halal sifatnya…”
“Apa-apaan ini, Pak?” sang pemuda nyelonong lagi.
“Kita ini dibesarkan dalam kekalahan-kekalahan. Dalam rasa ketidakmungkinan menang, subyektivitas kita tumbuh subur. Kalau kita becermin dan menjumpai wajah kekalahan di biliknya, kita ciptakan kemudian cermin yang mampu menyodorkan halusinasi kemenangan kita. Kalau kita tak punya biaya naik haji, naiklah kita ke puncak Gunung Kuripan dan merasa telah naik haji. Kalau tak sanggup perang melawan kekuatan manusia, kita cari tuyul untuk kita taklukan. Kalau tak ada juga peluang untuk tampil di panggung sejarah, kita berduyun-duyunlah dipanggung narkotik kebudayaan di bidang ndangdut, diskotik si Boy, atau mengangkat seorang pencoleng menjadi dermawan sehingga hati tehibur. Kalau risi berpegang pada pilar-pilar kufur dan tak sanggup bersandar pada udara, maka melianglah kita pada lubang sempit pengetahuan keagamaan kita yang mualaf dan nadir. Kita tak kuat naik gunung, kita susun gunung-gunung dalam tempurung. Naluri kekuasaan kita tumpahkan dalam tempurung. Kita menjadi “negara” dalam pesta syariat dangkal umat di sekeliling kita. Kita mengawasi muda-mudi yang berboncengan motor, kita menelepon pasien-pasien kita di pagi buta apakah ia sudah sholat shubuh, kita sholat jamaah sambil melirik apakah orang di samping kita sudah cukup kusuk sholatnya. Kita menjadi puritan, menjadi “manusia amat lokal”. Kita mendirikan kekuasaan baru dimana kita adalah penguasanya…”
Sang pemuda tak bisa tahan lagi, “Maaf, Pak! Berilah saya sedikit peluang…”
Tapi air bah terus tumpah ke bumi. ***
dari Buku "Slilit Sang Kiai", Grafiti, 1992